Pyongyang juga dapat memperoleh akses ke teknologi militer Rusia, yang jika tidak dalam kondisi seperti saat ini, Moskow enggan mentransfernya, imbuh Lankov.
Masalah sumber daya manusia di Moskow telah banyak dilaporkan, dengan AS memperkirakan bahwa sekitar 600.000 tentara Rusia telah tewas atau terluka sejak invasi negara itu ke Ukraina pada 2022.
Pada September silam, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan perintah—ketiga kalinya sejak perang dimulai—untuk menambah pasukannya.
Rusia juga menerapkan strategi yang “meminimalkan dampak politik dalam negeri”, seperti menawarkan bonus kepada [tentara] rekrutan yang menjadi relawan dan merekrut orang asing dengan janji kewarganegaraan, kata Cancian dari CSIS.
"Dengan Rusia dilaporkan menderita lebih dari 1.000 korban di medan perang, mengurangi kerugiannya sendiri dapat meringankan tekanan pada rezim Putin," kata Lami Kim, seorang profesor Studi Keamanan di Daniel K Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies.
Apa tanggapan Korea Selatan?
Perkembangan ini, yang terjadi pada saat ketegangan di semenanjung Korea memanas dalam beberapa tahun, membuat Seoul khawatir.
Pada Oktober, Korea Utara meledakkan bagian dari dua jalan yang menghubungkannya dengan Korea Selatan, beberapa hari setelah menuduh Seoul menerbangkan pesawat tak berawak ke ibu kota Korea Utara, Pyongyang.
Hal itu terjadi setelah kedua negara terlibat saling balas pengiriman balon dan propaganda ke masing-masing wilayag.
Korea Selatan dan Utara juga telah menangguhkan pakta yang bertujuan untuk menurunkan ketegangan militer di antara mereka, tak lama setelah Korut mengatakan bahwa Korea Selatan sekarang menjadi “musuh nomor satu”.
Jadi, masuk akal jika Korea Selatan merasa tidak nyaman dengan Korea Utara yang memperoleh kekuatan militer baru di tengah ketegangan ini.
Lagipula, pasukan di Korea Selatan juga tidak pernah bertempur dalam konflik besar lainnya sejak Perang Korea.
Menurut Madden dan Cancian, diperkirakan pasukan Korea Utara dikerahkan di sekitar wilayah perbatasan Kursk, yang coba direbut kembali oleh Moskow dari Ukraina.
Korea Selatan khawatir bahwa “musuhnya bisa saja memiliki kemampuan yang lebih kejam” sebagai akibat dari pengalaman yang akan diperoleh prajuritnya di medan perang, kata Letnan Jenderal (purn) Chun.
Ia juga menyatakan “kekhawatiran mendalam” atas pakta antara Pyongyang dan Moskow, yang berjanji bahwa kedua negara akan saling membantu jika terjadi “agresi” terhadap salah satu negara.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol telah menegaskan kembali—setidaknya tiga kali dalam dua bulan terakhir—bahwa Korea Selatan akan mempertimbangkan untuk membantu Ukraina "untuk tujuan pertahanan".
Jika ini terjadi, ini akan menandai perubahan dari kebijakan lama Korea Selatan untuk tidak memasok senjata ke negara-negara yang terlibat dalam konflik aktif.