Sebagian besar tenaga kerja di industri tekstil dan alas kaki global adalah perempuan. Banyak dari mereka yang masih sering terancam kekerasan dan eksploitasi setiap hari. Sekalipun kekerasan berbasis gender adalah risiko besar di industri ini, tetapi sering kali diabaikan dalam diskusi mengenai kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Target produksi yang tinggi dan tidak realistis memaksa banyak pekerja menghindari waktu istirahat di pabrik dan bekerja tanpa jeda. Pulang ke rumah, para pekerja perempuan masih harus mengurusi keluarga. Hal ini mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental mereka.
Dua anggota Trade Union Rights Center (TURC) Indonesia, Didit Saleh dan Nitya Swastika, saat ini berada di Jerman atas undangan jaringan pembela hak pekerja perempuan (FEMNET) dan jaringan studi dan advokasi untuk perekonomian yang adil (SÜDWIND) di Bonn. Acara ini juga berkaitan dengan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November. Di Jerman, mereka mengunjungi empat kota, yaitu Frankfurt, Bonn, Köln, dan Leipzig untuk berbicara tentang situasi buruh perempuan di Indonesia dan membangun jaringan dengan kelompok-kelompok solidaritas internasional. DW Indonesia berbicara dengan Didit dan Nitya di Kota Bonn, berikut petikan wawancaranya.
DW: Apa harapan kalian dengan kerja sama dan kunjungan ke Jerman?
Nitya Swastika: Kami sebenarnya ke sini, dengan kami diundang juga dua aktivis dari India, untuk bercerita tentang apa yang dihadadapi pekerja perempuan di Indonesia dan India. Karena apa yang dialami para pekerja perempuan di tempat kami memang jauh sekali dari pengalaman teman-teman di Jerman. Brand-brand besar sepatu, misalnya yang ada di Jerman, menyatakan sudah menerapkan kebijakan untuk perbaikan, tetapi kenyataan di lapangan, di pabrik-pabik yang memasok sepatu mereka, ternyata jauh berbeda. Jadi kami ingin mereka dan publik di sini menyadari bagaimana situasi sebenarnya di sana. Jarak antara brand dengan situasi di lapangan masih sangat jauh. Di sini, brand mungkin hanya punya kantor-kantor besar saja, bukan pabrik dengan 50 ribu pekerja. Jadi mereka sering tidak tahu bagaimana situasi di pabrik-pabrik pemasoknya..
Didit Saleh: Jadi intinya, kami ingin memastikan bahwa bahwa pemilik brand bisa menjamin perlakuan yang lebih baik dan lebih adil bagi para pekerja perempuan, terutama di bidang K3, yaitu kesehatan dan keselamatn kerja. Mengapa terutama pekerja perempuan? Karena hampir 80 persen pekerja di industri tekstil dan alas kaki adalah perempuan. Jadi kami biasanya melakukan penelitian lebih dulu di lapangan, setelah ada hasil riset kami lalu menyusun semacam panduan praktis tentang apa yang bisa dilakukan di pabrik untuk perbaikan. Setelah ada panduan praktis itu, kami coba membuat kelompok kerja yang melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk pengamat, peneliti, dan wakil pihak manajemen pabrik. Setelah diskusi dalam kelompok kerja, baru nanti mungkin bisa diimplementasikan. Ini misalnya yang kami lakukan di pabrik-pabrik alas kaki, yang ada di daerah Serang dan Tangerang di Provinsi Banten, dengan jumlah pekerja sampai puluhan ribu orang. Kami melakukan riset di sini untuk melihat bagaimana kondisi kerja buruh perempuan dan bagaimana kondisi sosial mereka di rumahnya. Karena masalah besar pekerja perempuan adalah, mereka bekerja di pabrik, lalu kalau pulang ke rumah, mereka masih harus mengurus rumah dan keluarga, karena struktur yang patriarkis. Dan ada juga penentangan dari kelompok-kelompok agama dengan gagasan bahwa lelaki tidak bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangga, sekalipun istrinya bekerja di pabrik.
Jadi ada beban ganda ya, bukan hanya harus bekerja di pabrik, tapi juga kalau pulang masih harus membersihkan rumah, memasak, dan lain-lain...
Didit: Ya, ada beban ganda itu, karena budaya patriarki masih begitu kuat. Selain itu masih ada masalah kekerasan berbasis gender. Sedangkan di tempat kerja, mereka juga diawasi sangat ketat untuk memenuhi target produksi. Untuk ke toilet saja bagi mereka susah karena bisa mengganggu rantai kerja di pabrik. Jadi tekanannya di tempat kerja sangat tinggi.
Sebenarnya bagaimana persepsi para perempuan sendiri yang bekerja di pabrik-pabrik itu, kan barang-barang yang mereka produksi, sepatu-sepatu bermerek, punya citra tinggi?
Nitya: Dari hasil riset kami, untuk jadi pekerja di pabrik sepatu yang besar-besar, mereka menganggap ini pekerjaan yang cukup prestisius. Jadi banyak dari mereka juga yang untuk masuk ke pabrik saja rela membayar kepada calo. Perusahaan-perusahaan sebenarnya tahu ada praktek percaloan itu, tapi mereka tidak melarang atau tidak mengawasi secara ketat. Jadi para buruh perempuan itu untuk bisa bekerja ada yang membayar sampai 10 juta rupiah, hanya untuk mendapat pekerjaan itu. Ternyata setelah bekerja, mereka sadar situasinya tidak sebaik yang mereka bayangkan. Di pihak lain, brand-brand besar bisa mensponsori acara-acara besar dan banyak dana dibayar untuk aksi-aksi promosi. Jadi akhirnya ada kekecewaan itu.
Bagaimana dengan peran serikat buruh dalam hal perbaikan kondisi kerja?
Didit: Kesadaran tentang kekerasan yang dialami para pekerja perempuan, gender based violence, mulai disadari di Indonesia setelah adanya berbagai kampanye, termasuk dari organisasi buruh dunia, ILO. Sekarang juga ada serikat buruh yang khusus memperhatikan masalah perempuan di tempat kerja, bahkan di dunia kerja, jadi bukan hanya ketika mereka ada di pabrik saja. Kesadaran itu sudah ada, tapi ada juga tantangan internalnya. Yaitu kesediaan perempuan untuk menjadi pemimpin di organisasi-organisasi pekerja masih minim. Di beberapa daerah, untuk ikut serikat buruh saja masih sulit. Di Jawa Tengah misalnya, kami tahu dari riset kami, perempuan kalau mau ikut serikat buruh harus dapat izin dulu dari suaminya. Karena itu lebih sulit melibatkan perempuan daripada misalnya buruh laki-laki di organisasi, tapi sekarang ada juga inisiatif yang tidak hanya melibatkan pekerja perempuan, melainkan juga keluarga dan komunitasnya. Ini sudah ada. Tantangan lain adalah, kata serikat buruh dalam persepsi masyarakat masih sering dianggap kekiri-kirian, jadi malah dianggap berbahaya. Di beberapa daerah, gerakan serikat buruh bahkan dianggap tabu.
Nitya: Kalau berbicara tentang kekerasan dan tekanan terhadap perempuan, masalahnya memang punya banyak dimensi. Misalnya dari penelitian yang kami lakukan di kawasan pabrik alas sepatu, karena kebanyakan buruhnya perempuan, akibatnya banyak lelaki di sana tidak punya pekerjaan atau bekerja jadi ojek online, jadi pekerja harian atau kerja serabutan, tapi banyak laki-laki yang menganggur dan di rumah mereka tetap tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga. Dan di kawasan itu, tidak sedikit terjadi kasus kekerasan rumah tangga. Jadi perempuan mengalami banyak tekanan mental. Akibatnya mereka tidak fokus dalam pekerjaan, sering mengalami kecelakaan kerja. Ini masalah yang masih sering sulit diutarakan ke serikat pekerja karena banyak posisi di serikat pekerja diisi oleh laki-laki. Kalaupun ada pekerja perempuan yang ingin aktif di serikat pekerja, mereka akan mengalami masalah dengan pasangannya, yang keberatan atau tidak setuju dan tidak mengizinkan.
Lalu bagaimana pengalaman kalian berhubungan dengan teman-teman di Eropa dan di Jerman?
Nitya: Ya, awalnya memang cukup sulit untuk menjelaskan karena banyak masalah pekerja perempuan di Indonesia yang sudah tidak ada lagi di sini, bahwa di Indonesia masih banyak kekerasan dan eksploitasi yang dihadapi pekerja perempuan. Misalnya pernah ada kunjungan teman dari jaringan dari FEMNET ke Indonesia dan kami mengunjungi salah satu sekretariat serikat pekerja. Waktu teman-teman dari Indonesia menceritakan bagaimana kondisi kerja di kawasannya, teman dari Jerman mengatakan, "wah kondisi ini seperti di kita 50 sampai 70 tahun lalu."
Apa yang bisa dipelajari dari Eropa oleh Indonesia dalam isu perlindungan pekerja, terutama pekerja perempuan?
Didit: Yang penting memang soal regulasi. Misalnya ada peraturan Uni Eropa, EU supply chain law, atau juga dikenal sebagai Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD). Aturan ini menuntut perusahaan besar di Uni Eropa menjamin kondisi pekerjaan yang lebih baik di negara-negara pemasok. Dan ini sampai pemasok di lapisan ketiga, bukan hanya di lapisan pertama saja. Uni Eropa juga bisa memberikan sanksi, kalau hal ini tidak dilakukan. Ini aturan yang menurut saya cukup progresif. Jadi apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Indonesia misalnya bisa membuat aturan bisnis dan hak asasi manusia, bahwa perusahaan harus menghormati hak-hak pekerja dan mengusahakan kondisi kerja yang baik, termasuk hak-hak spesifik pekerja perempuan. Misalnya hak cuti haid. Di Indonesia aturannya adalah istirahat haid, dengan artian kalau dia tidak sakit, dia harus bekerja. Jadi itu bukan hak untuk cuti haid, tapi peraturan terbaru dalam Omnibus Law misalnya, malah memperburuk kondisi pekerja. Jadi saya tidak tahu, apakah saat ini dengan pemerintahan baru ada peluang untuk bersama-sama membuat aturan yang lebih baik.
Nitya: Terus terang saja saya dan kawan-kawan aktivis lain miris, waktu teman-teman Jerman bilang bahwa kondisi pekerja perempuan di Indonesia ketinggalan 50 sampai 70 tahun. Bayangkan saja, betapa buruk situasinya. Kita perlu perbaikan segera.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Hendra Pasuhuk