TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Israel mulai bergerak melawan putusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis kantor PM Israel, para pejabat Tel Aviv mengajukan banding meminta ICC untuk menangguhkan surat perintah penangkapan Netanyahu dan Gallant.
Mereka dengan tegas menyangkal kewenangan ICC dan legitimasi surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant, menuduh surat perintah penangkapan itu sebagai sikap anti-Semit.
“Negara Israel menyangkal kewenangan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag dan legitimasi surat perintah penangkapan,” bunyi pernyataan dari kantor Netanyahu, mengutip Al Jazeera.
“Israel hari ini menyampaikan pemberitahuan kepada Mahkamah Kriminal Internasional tentang niatnya untuk mengajukan banding ke pengadilan tersebut, disertai tuntutan untuk menunda pelaksanaan surat perintah penangkapan,” tambahnya.
Upaya ini dilakukan pemerintah Israel sebagai bentuk perlawanan kepada ICC yang pekan lalu melayangkan surat penangkapan kepada Netanyahu dan Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Pengadilan ICC hingga saat ini belum memberikan respons terkait kecaman yang dilayangkan oleh pejabat pemerintahan Israel.
Namun pasca surat perintah penangkapan PM Netanyahu dirilis sejumlah negara menyatakan siap mematuhi surat perintah ICC, termasuk di antaranya kelompok negara G7.
Kesiapan itu menandakan semua negara G7 harus menangkap Netanyahu jika ia bepergian ke sana.
“Kami menegaskan kembali komitmen kami terhadap Hukum Humaniter Internasional dan akan mematuhi kewajiban kami masing-masing,” kata para menteri G7 mengutip dari Barrons.
Baca juga: Batal Penuhi Janji, Prancis Sebut Netanyahu Kebal terhadap Surat Perintah Penangkapan ICC
Prancis Ogah Bantu ICC
Berbanding terbalik dengan kelompok G7 yang menyatakan komitmennya untuk membantu ICC menangkap Netanyahu, Prancis justru menolak mengupayakan penangkapan Netanyahu CS atas dugaan kejahatan perang.
Prancis mengklaim PM Netanyahu memiliki kekebalan hukum terhadap surat perintah penangkapan Mahkamah Kriminal Internasional karena Israel bukan negara anggota ICC.
Alasan tersebut yang membuat Kemlu Prancis menolak membantu ICC menangkap Netanyahu dan menteri-menteri Israel lainnya yang masuk daftar buronan mahkamah tersebut.
"Negara tidak dapat bertindak dengan cara yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional terkait kekebalan yang diberikan kepada negara-negara yang bukan pihak ICC," bunyi pernyataan Kemlu Prancis.
"Kekebalan ini berlaku untuk Perdana Menteri Netanyahu dan menteri lainnya yang dimaksud, dan harus dipertimbangkan jika ICC meminta kami untuk menangkap dan menyerahkan mereka," imbuhnya.
Pernyataan Prancis ini tampaknya merujuk pada Pasal 98 Statuta Roma, yang menyebutkan bahwa sebuah negara tidak boleh "bertindak secara bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional terkait kekebalan diplomatik seseorang".
Namun, Pasal 27 statuta menyatakan bahwa kekebalan jabatan tinggi "tidak menghalangi pengadilan untuk menjalankan yurisdiksinya atas orang tersebut".
Perubahan sikap ini terjadi di tengah-tengah kabar bahwa Netanyahu menelepon Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Dikutip dari Anadolu Agency, Netanyahu dan Macron melakukan pembicaraan via telepon.
Pihak juru bicara Israel maupun Prancis belum mengungkap apa isi pembicaraan tersebut.
Namun sejumlah pihak meyakini bahwa Netanyahu dilaporkan meminta Macron agar mengabaikan surat perintah ICC.
Israel Rayu Sekutu
Tak sampai disitu, Israel juga mulai putar otak meminta 25 negara agar menentang surat penangkapan yang dirilis ICC.
Hal ini diketahui publik setelah Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz telah mengirim surat kepada 25 mitranya di seluruh dunia.
Dalam suratnya, Katz meminta negara-negara tersebut untuk mengikuti jejak Inggris menolak permintaan Jaksa Agung ICC.
Israel bahkan turut melobi AS untuk menjatuhi sanksi berat ke para pejabat Mahkamah Pidana Internasional.
Sanksi tersebut diantaranya pemblokiran akses pejabat ICC ke AS, pencabutan visa AS milik pejabat ICC serta melarang mereka melakukan transaksi properti apa pun di dalam negeri, kecuali pengadilan menghentikan kasusnya terhadap “orang-orang yang dilindungi Amerika Serikat dan sekutunya.
(Tribunnews.com / Namira Yunia)