News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Kisah Pengungsi Lebanon: Harapan di Tengah Kesedihan Pasca Gencatan Senjata

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: timtribunsolo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Keluarga-keluarga yang mengungsi berlindung di perkemahan darurat di atas pasir pantai Ramlet al-Bayda di Beirut pada 10 Oktober 2024. - Pertukaran lintas batas yang telah berlangsung selama setahun antara Israel dan kelompok Hizbullah Lebanon setelah meletusnya perang Gaza, telah meningkat secara dramatis pada bulan sebelumnya, yang mendorong sekitar 1,2 juta orang mengungsi, sebagian besar sejak 23 September, menurut pejabat Lebanon. - Setelah gencatan senjata, pengungsi Lebanon hadapi harapan dan kesedihan mendalam. (Photo by IBRAHIM AMRO / AFP)

TRIBUNNEWS.COM - Setelah gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah mulai berlaku, kehidupan ratusan keluarga pengungsi di Lebanon memasuki fase baru.

Meskipun mereka merasa lega, ketidakpastian masa depan tetap membayangi kehidupan mereka.

Perang mungkin telah mereda, namun dampaknya terhadap kehidupan keluarga pengungsi di Lebanon masih sangat terasa.

Banyak dari mereka yang merasa terjebak antara keinginan untuk kembali ke rumah dan ketakutan akan kondisi yang menanti.

Adnan Zaid, seorang ayah, menggambarkan perasaan banyak orang saat dia menghela napas lega setelah mendengar berita tentang gencatan senjata.

"Sejujurnya, saya masih khawatir sesuatu akan terjadi," ungkap Zaid, yang kini tinggal di wisma tamu yang dikelola oleh kelompok bantuan di Karantina, Beirut.

Zaid bersama sekitar 650 orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.

"Semua pintu dan jendela di rumah saya rusak, atapnya ambruk," jelas Zaid, menggambarkan kerusakan parah yang dialaminya.

Kerinduan dan Ketidakpastian

Bagi Mohamad Kenj, 22 tahun, kembali ke rumah bukanlah pilihan yang diinginkan.

"Kampanye Israel telah menghancurkan semua bentuk kehidupan sosial dan komersial di lingkungan saya," ujarnya.

Meski begitu, Kenj menyadari bahwa tanpa tempat lain untuk dituju, dia harus kembali suatu hari nanti.

Fatima Haidar, ibu berusia 38 tahun, juga merasakan dilema yang sama.

"Kami senang perang akhirnya berakhir, tetapi kami sangat sedih karena rumah kami telah hancur," kata Haidar.

Dia merindukan rumahnya yang hancur, tetapi bertekad untuk membangun kembali kehidupan mereka.

Kesedihan yang Mendalam

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini