TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah perusahaan rintisan (startup) Tiongkok tidak dapat mencatatkan diri di bursa saham atau memulai penawaran umum perdana (IPO) mereka.
Kondisi itu terjadi di tengah hampir terhentinya pasar saham di Tiongkok.
Mengutip dari Greekcitytimes, Kamis (5/12/2024), hal ini berisiko memicu gugatan hukum terhadap sejumlah startup Tiongkok.
Gugatan kerap diajukan para pemodal awal yang ingin mendapatkan uang mereka kembali.
Pasar IPO tahun ini sedang mengalami kesulitan di Tiongkok, dan krisis properti yang sedang berlangsung mengguncang kepercayaan investor.
Sesuai proses penataan startup global, investor dapat mengklaim kembali modalnya dengan premi, khususnya jika startup terkait tak bisa mencatatkan IPO dalam waktu yang ditentukan.
Sebaliknya, pemerintah Tiongkok ingin menciptakan swasembada perusahaan-perusahaan mereka. Namun, tidak mampu melindungi perusahaan itu dari gejolak ekonomi internal dan konflik geopolitik.
Proses permintaan penebusan dari perusahaan rintisan yang gagal semakin cepat. Karena, lebih dari 641 perusahaan Tiongkok tidak dapat mencapai tahap IPO pada tahun 2023.
Regulator pasar juga memperketat cengkeraman mereka terhadap perusahaan rintisan. Karena, mereka gagal membayar kembali investornya, sehingga mengakibatkan kerugian besar.
Perselisihan terkait penebusan. Berdasarkan catatan, 14.000 startup Tiongkok dengan investasi sekitar 8,6 triliun yuan (USD1,2 triliun) menghadapi kemarahan investor.
Pasar IPO Tiongkok
Pemimpin tertinggi Tiongkok, Xi Jinping, telah melakukan upaya bertahun-tahun menghidupkan kembali perekonomian negaranya. Hal itu dilakukan melalui serangkaian paket stimulus, namun tidak membuahkan hasil.
Hal ini menyebabkan pemodal ventura kehilangan kepercayaan, dan para pendiri startup sangat terguncang. Kasus terkenal perusahaan investor Luxin Capital yang menggugat pemegang saham pengendali startup Shandong Inlarin Technology, Peng Hongyue, menjadi pemberitaan luas.
Luxin Capital mengklaim bahwa perusahaan gagal membayar kembali saham yang telah disepakati dalam persyaratan penebusan ketika tahap IPO tidak tercapai.
Pasar IPO Tiongkok berkembang pesat sebelum pandemi COVID-19, yang berarti hampir tidak ada masalah terkait penebusan.
Namun, skenario tersebut berubah pascapandemi karena perekonomian Tiongkok terkendala oleh berbagai masalah, seperti krisis properti, jatuhnya pasar saham, konflik geopolitik, dan kurangnya investasi asing langsung (FDI).
Ada beberapa contoh di mana pemodal ventura terkemuka di Tiongkok mulai mencari penebusan karena akun para pendiri startup dikunci sesuai dengan hukum setempat.
Para pemodal ventura percaya bahwa rezim Tiongkok harus memastikan bahwa lonjakan kasus penebusan dapat dijinakkan dengan memberikan lebih sedikit hak istimewa kepada startup.
Namun, pola ini tidak baik bagi pengusaha lokal dan akhirnya menciptakan lebih sedikit lapangan kerja, karena perekonomian semakin terpuruk.
Banyak perusahaan investasi milik negara yang menyatakan bahwa hak penebusan seringkali hanya sekedar kepatuhan prosedural untuk menghindari gangguan pertumbuhan perusahaan. Pendanaan milik negara melalui proses audit dan inspeksi organik, dan investor pemerintah hanya bisa berempati terhadap startup dan pemiliknya, namun mereka tidak bisa mengabaikan prosedur pemerintah.
Tekanan Investor
Rezim Tiongkok akan menerapkan klausul toleransi kesalahan untuk melindungi kepentingan pemodal ventura milik negara dan mendorong pertumbuhan pasar, namun sayangnya, tidak ada yang diperdebatkan untuk startup lokal.
Untuk saat ini, pemodal ventura milik negara menahan diri untuk tidak berinvestasi pada proyek-proyek berisiko tinggi, dan membatasi pendanaan untuk startup yang berpotensi besar dan disruptif.
Pemerintah Tiongkok merasa bahwa banyak perusahaan pemula di dunia korporat sering menggunakan cara-cara yang tidak sehat untuk mendapatkan dana atau terlalu kekanak-kanakan dalam menjalankan bisnis. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pemodal ventura lokal.
Beberapa pengusaha berupaya mengubah kategori bisnis di tengah jalan, terjebak dalam kasus pelanggaran paten, atau bahkan menyia-nyiakan modal investor; Hal ini mengakibatkan investor menjadi lebih berhati-hati dan mengajukan tuntutan hukum.
Namun, semua ini adalah skenario normal dalam menjalankan bisnis secara global, dan hal ini tidak boleh menghilangkan harapan bagi startup yang ingin mendukung perekonomian Tiongkok yang sedang mengalami kemerosotan.
Jika undang-undang Tiongkok tetap tidak sesuai untuk perusahaan rintisan, hal tersebut dapat menghambat aktivitas kewirausahaan dan kemajuan teknologi di Tiongkok. Startup akan kesulitan bertahan di tengah sikap apatis pemerintah, kurangnya modal, dan meningkatnya tekanan dari investor.
Tiongkok adalah pemimpin manufaktur yang berkuasa secara global. Namun, jika situasi internal masih tidak bersahabat bagi produsen lokal yang memulai bisnisnya, hal ini dapat berdampak jangka panjang pada pasar teknologi global.
Peraturan pemerintah yang semakin ketat, khususnya terhadap perusahaan teknologi, menciptakan ketidakpastian. Pada akhirnya, menghalangi kemampuan inovatif ekosistem startup.