TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, mengaku pihaknya telah melakukan kontak langsung dengan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham atau HTS pada Sabtu (14/12/2024).
Dikutip dari Associated Press (AP), hal itu disampaikan oleh Blinken dalam sebuah konferensi pers di Yordania.
Blinken menuturkan komunikasi tersebut dilakukan bersama delapan negara Arab, Turki, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam komunikasi itu, Blinken menyebut adanya penandatanganan seperangkat prinsip terkait panduan pemerintahan transisi di Suriah setelah rezim Bashar al-Assad tumbang.
Adapun prinsip tersebut diharapkan dapat menjadikan Suriah menjadi negara damai, nonsektarian, dan inklusif.
Namun, Blinken tidak mau membahas secara lebih rinci apa saja yang dibicarakan dengan HTS.
Dia hanya menekankan bahwa penting bagi AS untuk menyampaikan pesan kepada kelompok HTS soal tindakannya dan bagaimana mereka akan memerintah dalam masa transisi.
"Ya kami telah melakukan kontak dengan HTS dan dengan pihak-pihak lain. Pesan kami kepada rakyat Suriah adalah kami ingin mereka berhasil dan kami siap membantu mereka melakukannya," kata Blinken dalam konferensi pers di kota pelabuhan Aqaba, Yordania, dikutip pada Minggu (15/12/2024).
Di sisi lain, ada yang unik dalam pertemuan antara AS dan kelompok HTS tersebut.
Baca juga: Bashar al-Assad Mengadu ke Iran sebelum Digulingkan Oposisi Suriah yang Didukung Turki
Adapun keunikan yang dimaksud adalah HTS dicap oleh AS sebagai organisasi teroris sejak tahun 2018.
Penetapan tersebut berujung pada sanksi berat berupa larangan pemberian "dukungan material" kepada kelompok ataupun anggota HTS.
Hanya saja, tidak ada larangan dari pejabat AS untuk berkomunikasi dengan kelompok dari HTS.
Pimpinan HTS Mau Calonkan Diri jadi Presiden Suriah jika Diminta
Sementara itu, pemimpin HTS, Muhammad al-Julani, bakal mencalonkan diri sebagai Presiden Suriah jika diinginkan.
"Saya akan mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Suriah jika warga atau orang-orang di sekitar saya meminta saya untuk melakukannya," kata al-Julani kepada media Suriah, Sabtu (14/12/2024).
Al-Julani mengatakan, meski kemenangan di Suriah diraih dengan jalan revolusi, ia menekankan agar kepemimpinan Suriah tidak dijalankan dengan mentalitas revolusi.
"Negara perlu membentuk negara berdasarkan hukum dan institusi untuk menjamin stabilitas berkelanjutan," katanya.
"Saya menekankan perlunya mentransfer mentalitas dari aksi revolusioner ke pembangunan negara, mengingat masa depan Suriah bergantung pada pembentukan fondasi pemerintahan dan keadilan," katanya.
Di sisi lain, ia menegaskan pemerintahan baru akan mengakhiri produksi Captagon, pil simultan ilegal di Suriah, setelah rezim Assad sebelumnya mengubah negara tersebut menjadi pabrik Captagon, menurut laporan internasional.
Ia juga mengungkapkan situasi internal di Suriah setelah jatuhnya rezim Assad.
"Kementerian Pertahanan akan membubarkan semua faksi dan tidak akan ada senjata di luar kewenangan negara Suriah," katanya.
"Kami memiliki hubungan dengan umat Kristen dan Druze, dan mereka berperang bersama kami di dalam Departemen Operasi Militer," lanjutnya.
Mengenai bentuk kewenangan di Suriah di masa depan, al-Julani mengatakan hal ini akan diserahkan kepada ahli.
"Hal ini diserahkan kepada keputusan para ahli dan ahli hukum, dan rakyat Suriahlah yang memutuskan," katanya.
"Kompetensi dan kemampuan menjadi dasar evaluasi dalam hal ini," lanjutnya, seperti diberitakan Aljazeera.
Dia mengatakan komite dan dewan yang peduli dengan kajian ulang konstitusi akan dibentuk.
Selain itu, ia juga mengomentari pemboman Israel di sebagian besar Suriah.
Rezim Bashar-al Assad Jatuh, Assad Diselamatkan Putin
Setelah dikudeta oleh kelompok militan HTS, eks Presiden Suriah Bashar al-Assad langsung terbang ke Rusia pada Minggu (8/12/2024) pekan lalu.
Adapun juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengungkapkan ada peran pihaknya sehingga Bashar al-Assad bisa terbang ke Rusia.
Serangan kilat yang dilakukan HTS membuat Presiden Rusia, Vladimir Putin langsung memberikan suaka kepada Bashar al-Assad.
Dikutip dari Sputnik, keputusan pemberian suaka tersebut merupakan langkah pribadi Putin.
"Tentu saja, keputusan semacam itu tidak dapat dibuat tanpa persetujuan kepala negara. Itu adalah keputusannya (Putin)," ujarnya di Moskow.
Baca juga: Erdogan Memuji Jatuhnya Bashar Assad: Revolusi Otentik Dimahkotai dengan Kesuksesan
Sementara, menurut laporan jurnalis Aljazeera, Yulia Shapovalova, bahwa memang Bashar al-Assad tidak ditelantarkan oleh Putin.
"Presiden Suriah yang mengundurkan diri dalam situasi yang sulit seperti ini membuanya dievakuasi oleh pesawat Rusia dari pangkalan udara Rusia di Latakia," katanya.
Shapovalova menuturkan belum ada informasi dari Rusia terkait keputusan pemberian suaka kepada Bashar al-Assad akan memengaruhi aset mantan Presiden Suriah tersebut.
Sebagai informasi, Suriah merupakan sekutu penting Uni Soviet (sebelum Rusia) di Timur Tengah sejak awal tahun 1970-an.
Hubungan baik kedua negara terus terjalin meski Perang Dingin telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Konflik Suriah