TRIBUNNEWS.COM - Kematian mantan karyawan OpenAI berdarah Amerika-India, Suchir Balaji menyisakan misteri meski kepolisian San Fransisco, Amerika Serikat, menyatakan dia tewas karena bunuh diri di apartemennya beberapa waktu lalu.
Suchir Balaji tewas dalam usia yang masih sangat muda, 26 tahun. Dia adalah lulusan ilmu komputer dari University of California, Berkeley, dibesarkan di Cupertino, California, AS.
Suchir Balaji Dia bergabung ke OpenAI pada tahun 2019 dan bekerja di sana selama empat tahun sebelum kemudian memutuskan keluar.
Selama di OpenAI, dia memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan ChatGPT selama hampir empat tahun masa jabatannya.
Namun, dia meninggalkan perusahaan tersebut pada bulan Agustus, dengan alasan kekhawatiran atas implikasi etika dan hukum dari teknologi AI generatif.
Dalam sebuah wawancara dengan New York Times pada bulan Oktober 2024, Suchir Balaji menuduh bahwa penggunaan data berhak cipta oleh OpenAI untuk melatih ChatGPT melanggar undang-undang hak cipta AS.
Dia memperingatkan bahwa praktik semacam itu merusak internet dan menimbulkan kekhawatiran etika yang lebih luas mengenai pertumbuhan AI yang tidak terkendali.
Suchir Balaji mengungkapkan bagaimana pemahamannya yang mendalam tentang undang-undang hak cipta mendorongnya untuk berbicara menentang perusahaan tersebut.
Suchir Balaji Kritik terhadap Wilayah Abu-Abu Hukum AI
Pelaporan pelanggaran yang dilakukan Balaji menempatkannya di pusat perdebatan sengit mengenai legalitas AI generatif.
Dalam postingan di media sosial X (sebelumnya Twitter), dia menyatakan keraguannya terhadap pertahanan "penggunaan wajar" yang diterapkan oleh perusahaan seperti OpenAI.
Dia berpendapat bahwa produk AI generatif seperti ChatGPT, yang menghasilkan keluaran berdasarkan kumpulan data yang sangat besar, secara efektif bersaing dengan data asli yang menjadi dasar pelatihan mereka.
Kekhawatiran Balaji mencerminkan keluhan para penulis dan organisasi media yang telah mengajukan tuntutan hukum terhadap OpenAI.
Menurut Economic Times, Suchir Balaji menuduh OpenAI mengambil keuntungan dari kekayaan intelektual pihak lain, dan menyebut pembelaan "penggunaan wajar" tidak masuk akal dalam banyak kasus.