Dia mendorong mereka untuk mengambil tindakan yang sesuai tanggung jawab konstitusional mereka.
Sementara itu, Park Chandae, pemimpin Partai Demokratik Korea, menyatakan bahwa Yoon dianggap sebagai "dalang pemberontakan".
Ia menekankan pemakzulan adalah satu-satunya cara untuk melindungi konstitusi Korea Selatan.
Yoon sendiri, meskipun menghadapi kritik tajam, tetap bersikap menantang dan tidak menunjukkan penyesalan atas tindakannya.
Perlu dicatat, pemakzulan Yoon adalah yang kedua kalinya dalam sejarah Korea Selatan, setelah Park Geun-hye, presiden sebelumnya, dimakzulkan pada Desember 2016 dan dicopot pada Maret 2017 karena penyalahgunaan wewenang.
Pemakzulan Yoon diwarnai aksi demonstrasi besar-besaran dari ribuan warga.
Laporan dari Korea Herald mencatat demonstrasi tersebut dipimpin oleh anggota serikat buruh dan kelompok sipil liberal yang memulai aksi mereka di dekat Seoul Plaza dan melanjutkan ke kediaman presiden.
Meskipun ada yang meragukan stabilitas demonstrasi, aksi ini berlangsung dengan damai dan tertib.
Menariknya, banyak demonstran yang membawa lightstick dari fandom K-Pop serta poster-poster kreatif.
Bahkan, lagu terbaru dari grup idol AESPA menjadi pengiring dalam aksi tersebut.
Dalam konteks ini, meski Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang dipimpin Yoon memboikot pemungutan suara pemakzulan, hal tersebut tidak menghalangi keinginan mayoritas masyarakat.
Jajak pendapat menunjukkan 75 persen warga mendukung pemakzulan Yoon dari jabatannya sebagai presiden.
Pemakzulan Yoon Suk Yeol bukan hanya sekadar kejadian politik, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan keinginan masyarakat Korea Selatan untuk menjaga konstitusi dan stabilitas pemerintahan.
(TRIBUNNEWS.COM/Ika Wahyuningsih, Namira Yunia Lestanti)