TRIBUNNEWS.COM - Israel baru-baru ini melancarkan lebih dari 60 serangan udara ke berbagai lokasi di Suriah.
Israel mengklaim kalau serangan itu merupakan bagian dari upaya Tel Aviv untuk mengurangi potensi ancaman dari militer Suriah dan kelompok pemberontak.
Sejak penggulingan Presiden Bashar al-Assad minggu lalu, Israel telah melakukan lebih dari 800 serangan udara di Suriah, dikutip dari VOA dan Al Jazeera.
Lokasi yang menjadi sasaran utama serangan tersebut antara lain depot amunisi, sistem pertahanan udara, dan berbagai fasilitas militer lainnya.
Serangan udara tersebut menargetkan fasilitas militer dan amunisi di sekitar Damaskus, Homs, dan daerah lainnya.
Selain itu, serangan juga menghancurkan infrastruktur vital di Suriah, seperti jalan, saluran listrik, dan jaringan air di wilayah tenggara, termasuk Quneitra.
Keberadaan pasukan Israel di zona penyangga Dataran Tinggi Golan juga semakin memperburuk ketegangan dengan Suriah, yang menganggap langkah ini sebagai pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata 1974.
Meskipun serangan Israel tersebut tidak dapat dibenarkan, pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang juga memimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), memilih untuk tidak bereaksi keras.
Sharaa atau Abu Mohammad al Julani menegaskan bahwa Suriah tidak tertarik terlibat dalam konflik baru.
Al Julani menyebutkan bahwa negara tersebut lebih fokus pada rekonstruksi dan stabilitas setelah bertahun-tahun dilanda perang.
Sharaa juga berjanji untuk membubarkan semua faksi Suriah dan mengembalikan kontrol penuh atas senjata di negara tersebut.
Baca juga: HTS di Suriah Tolak Serang IDF, Israel Akan Gandakan Jumlah Penduduk Golan, AS Kirim Kapal Induk
Meskipun serangan Israel semakin meningkatkan ketegangan, sikap moderat ini mencerminkan keinginan Suriah untuk menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.
Tanggapan Netanyahu
Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa negaranya tidak tertarik untuk terlibat dalam konflik langsung dengan Suriah.
Menurut Netanyahu, serangan Israel di Suriah bertujuan untuk melindungi perbatasan Israel dan mengurangi potensi ancaman dari kelompok teroris yang beroperasi di wilayah tersebut.
Israel juga telah mengambil langkah-langkah untuk menghancurkan persediaan senjata strategis yang dikuasai oleh kelompok pemberontak, beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan al-Qaeda dan ISIS.
Israel menganggap langkah ini sebagai bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas perbatasan dan mencegah ancaman teroris.
Reaksi Internasional
Tindakan militer Israel ini menuai reaksi dari beberapa negara Arab.
Negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania, dan UEA mengutuk serangan Israel terhadap zona penyangga Dataran Tinggi Golan yang seharusnya menjadi wilayah yang dilindungi oleh perjanjian gencatan senjata.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS), meskipun telah menempatkan HTS dalam daftar kelompok teroris sejak 2018, melakukan kontak dengan kelompok tersebut dalam upaya untuk memfasilitasi solusi diplomatik di Suriah.
Amerika Serikat dan negara-negara Arab lainnya menginginkan transisi politik yang inklusif dan non-sektarian di Suriah, dengan harapan dapat menciptakan pemerintahan yang dapat mengakhiri krisis yang telah berlangsung lama.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)