Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah yang sangat mengejutkan, disambut optimis oleh banyak warga Iran, yang juga kecewa dengan rezim otoriter ulama di negara itu, yang melihat adanya kemiripan antara perjuangan rakyat Iran dengan rakyat Suriah.
Bagi rakyat Iran, jatuhnya Assad menjadi sangat signifikan, karena Suriah telah menjadi pilar strategi regional Teheran, yang melambangkan pengaruh geopolitik sekaligus model ketahanan otoriter bersama.
Dampak perkembangan di Suriah pun terasa di seluruh lanskap sosial dan politik Iran.
Tersingkirnya Assad membangkitkan harapan bagi warga Iran akan perubahan potensial di dalam negeri, terutama setelah penindasan brutal pemerintah Iran terhadap gerakan "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan" yang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan dipenjara.
Situasi ini bahkan mendorong Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei untuk membuat pernyataan publik dengan mengatakan, "siapa pun yang analisis atau ucapannya melemahkan semangat rakyat, telah melakukan kejahatan dan akan ditindak. Ada yang melakukannya dari luar negeri menggunakan media berbahasa Persia, tetapi tidak seorang pun di dalam negeri boleh terlibat hal seperti ini," ujar Khamenei pekan lalu.
Pernyataannya itu menegaskan kekhawatiran rezim di Teheran akan efek domino, terutama karena jatuhnya Assad menunjukkan kerentanan rezim para Mullah yang melakukan represi terhadap perbedaan pendapat dan bergantung pada dukungan eksternal.
Penguasa di Iran kemungkinan khawatir bahwa faktor-faktor yang mendestabilisasi, seperti meluasnya kesulitan ekonomi dan berkurangnya aliansi regional, bisa menggema di dalam negeri dan mengancam stabilitas rezim.
Pendukung rezim 'terkejut'
Hossein Razzagh, aktivis dan mantan tahanan politik yang beberapa kali ditangkap sejak protes Gerakan Hijau pada 2009, meyakini kejatuhan Assad utamanya telah mengejutkan para pendukung garis keras Republik Islam.
Para pendukung rezim ini, yang sering kali berasal dari keluarga elite rezim dan mereka yang memiliki hubungan dengan militer serta ulama, sangat bergantung pada kelangsungan kekuasaan rezim di Teheran, yang membuat mereka terguncang oleh hilangnya salah satu sekutu regional utamanya.
"Runtuhnya Assad telah membuat para pendukung garis keras rezim terkejut," kata Razzagh kepada DW, sambil menunjuk pada reaksi di antara keluarga mereka yang tewas berperang demi rezim di Suriah, yang dikenal di Iran sebagai "Pembela Makam Suci."
Razzagh mengatakan, "situasi ini mengguncang mesin propaganda Republik Islam. Banyak pendukung garis kerasnya kini mempertanyakan apakah Iran sendiri berada di ambang kehancuran."
Aktivis politik Iran itu juga menambahkan, hilangnya kredibilitas rezim di mata pengikut paling loyalnya saat ini adalah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan jika harus dibandingkan dengan peristiwa seperti Gerakan Hijau 2009, protes bahan bakar 2019, atau jatuhnya pesawat Ukraine International Airlines Penerbangan 752.
"Kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa sehingga percikan sekecil apa pun, baik itu kematian Khamenei atau kemunduran signifikan lainnya, bisa menandai awal dari berakhirnya rezim saat ini," katanya.
Legitimasi terkikis dari dalam
Hassan Asadi Zeidabadi, aktivis politik yang berbasis di Teheran dan seorang advokat untuk memboikot pemilu, menekankan adanya peningkatan atas ketidakpuasan domestik terhadap ketidakmampuan dan korupsi di pemerintahan.
"Apa yang menyebabkan jatuhnya Assad adalah krisis legitimasi dan inkompetensi," ujarnya. "Hal yang sama juga berlaku untuk pemerintah Iran, yang semakin gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya."
Zeidabadi menyoroti masalah seperti kelangkaan bahan bakar, pemadaman listrik, pembatasan internet, dan krisis polusi, dengan mengutip contoh terbaru seperti pemadaman listrik berkepanjangan di kota-kota besar dan tingkat polusi udara yang sangat tinggi di Teheran.
Krisis yang terus berlangsung ini telah memicu kemarahan publik, dan memperdalam ketidakpuasan terhadap pemerintah. Zeidabadi menunjuk pada kesamaan sejarah, dengan mengatakan, "Nasionalisasi minyak di Iran menginspirasi gerakan serupa di Mesir, sementara Gerakan Hijau pada 2009 berperan dalam memicu Arab Spring. Demikian juga, Arab Spring memengaruhi pemimpin Gerakan Hijau, yang akhirnya berujung pada tahanan rumah mereka."
Namun, ia juga berpendapat bahwa Iran tidak serta-merta mengikuti jalur Suriah. Ia juga menambahkan, "sementara dinamika geopolitik dan sejarah Timur Tengah menciptakan takdir yang saling terkait, ini tidak otomatis menempatkan Iran dalam efek domino."
Kekecewaan publik yang semakin mendalam terhadap rezim
Mehdi Mahmoudian, aktivis dan mantan tahanan politik, menyoroti kredibilitas dan efektivitas Republik Islam yang terus menurun. Hal ini ia kaitkan dengan kegagalan rezim yang terus berulang dalam menangani isu-isu domestik utama, dan hilangnya kepercayaan dari warga serta komunitas internasional.
Ia menekankan ketidakmampuan rezim untuk memenuhi janji-janji pemulihan ekonomi, atau menjaga pemerintahan yang konsisten, dan hanya memperdalam kekecewaan publik.
"Rezim telah kehilangan legitimasi dan kemampuannya untuk berfungsi semestinya," ujar Mahmoudian. "Runtuhnya Assad menegaskan betapa kecilnya pengaruh Teheran saat ini dalam negosiasi dengan Barat."
Mahmoudian mendesak pemerintah Barat untuk mengadopsi pendekatan yang lebih strategis dalam mendukung perubahan di Iran. "Fokus Barat sering kali hanya pada kepentingan ekonomi, dengan mengorbankan hak asasi manusia di Iran," ujarnya. Ia menganjurkan sanksi internasional yang lebih kuat yang menargetkan kepemimpinan rezim sambil melonggarkan pembatasan yang merugikan warga.
"Alih-alih intervensi langsung, negara-negara Barat harus fokus pada penguatan masyarakat sipil di Iran," tambahnya.
Meskipun penindasan terhadap perbedaan pendapat telah meningkatkan risiko bagi mereka yang memprotes rezim, ada perasaan yang berkembang di kalangan rakyat Iran bahwa peluang lain untuk perubahan bisa muncul, terutama ketika pengaruh regional Teheran mulai melemah.
Tersingkirnya Assad telah memperkuat kemungkinan itu, dan membuat banyak warga Iran bertanya-tanya apakah momen penghakiman untuk Republik Islam semakin dekat.
Artikel ini diadaptasi dari DW bahasa Inggris