TRIBUNNEWS.COM - Panglima militer Hayat Tahrir al-Sham (HTS) Suriah menyatakan bahwa mereka akan menjadi kelompok pertama yang membubarkan sayap bersenjatanya dan bergabung dengan militer nasional.
Murhaf Abu Qasra, yang juga dikenal dengan nama samaran Abu Hassan al-Hamawi, mengatakan kepada kantor berita Prancis AFP bahwa semua unit militer harus diintegrasikan menjadi satu institusi.
"HTS akan menjadi, jika Tuhan berkehendak, salah satu kelompok pertama yang mengambil inisiatif ini," ujarnya.
Abu Qasra juga menambahkan bahwa para pemimpin wilayah Suriah yang dikuasai oleh Kurdi, juga harus diintegrasikan ke dalam pemerintahan baru negara tersebut.
"Orang-orang Kurdi adalah salah satu komponen rakyat Suriah. Suriah tidak akan terpecah," kata Qasra.
Ia turut meminta masyarakat internasional untuk menekan Israel agar menghentikan serangan udara di wilayah Suriah, terutama ketika pemerintahan baru sedang dalam proses pembentukan.
"Kami menganggap serangan Israel di instalasi militer dan wilayah selatan Suriah sebagai tindakan yang tidak adil," tegasnya.
Israel menyatakan bahwa mereka hanya menargetkan instalasi militer yang digunakan oleh kelompok militan Hizbullah, dengan izin dari pemerintahan Bashar al-Assad.
Namun, Israel juga dituduh melakukan perampasan tanah setelah tentaranya mengambil alih zona penyangga demiliterisasi di wilayah Suriah.
Abu Qasra menambahkan bahwa HTS menyerukan kepada Amerika Serikat dan negara-negara lainnya untuk mencabut status HTS sebagai kelompok teroris.
HTS memiliki akar sejarah dengan al-Qaeda di Suriah.
Baca juga: Tuding Bos HTS Serigala Berbulu Domba, Pejabat Israel: Jangan Tertipu, Kita Tahu Sifat Asli Mereka
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, HTS telah berusaha memperbaiki reputasinya dan berulang kali berjanji untuk menghormati hak-hak minoritas di negara tersebut.
Jerman Ikuti Langkah Negara-Negara Lain untuk Membahas Masa Depan Suriah
Diplomat Jerman baru saja mengadakan pembicaraan di Damaskus dengan pemerintahan transisi baru Suriah, yang dipimpin oleh kelompok HTS, pada Selasa (17/12/2024), dilansir DW.
Jerman mengikuti langkah sejumlah negara lainnya yang berupaya membangun kembali hubungan dengan Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad.
"Pembicaraan difokuskan pada proses transisi politik dan harapan kami mengenai perlindungan kaum minoritas serta hak-hak perempuan, demi mendukung pembangunan damai di Suriah," kata Kantor Luar Negeri Jerman di Berlin.
Selain pembicaraan tersebut, delegasi Jerman juga melakukan inspeksi awal terhadap gedung Kedutaan Besar Jerman di Damaskus, menurut pernyataan kementerian luar negeri negara tersebut.
Dalam unggahan di media sosial X, kementerian itu menyatakan, "Assad telah berulang kali menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri di Suriah."
"Sekarang ada peluang untuk penyelidikan penuh dan penghancuran senjata kimia Suriah."
"Kami menyediakan dana tambahan untuk Organisasi Pelarangan Senjata Kimia dan juga membahas hal ini hari ini dalam pembicaraan di Damaskus."
Kunjungan ini dipimpin oleh utusan Jerman untuk Timur Tengah, Tobias Tunkel, dan perwakilan dari Kementerian Pembangunan Jerman.
Pada Senin (16/12/2024), diplomat Inggris juga mengadakan pembicaraan dengan pemimpin HTS, Ahmad al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai Mohammed al-Jolani.
Uni Eropa juga mengumumkan pada hari Selasa bahwa mereka akan membuka kembali perwakilan diplomatiknya di Damaskus, setelah melakukan kontak dengan kepemimpinan baru Suriah.
"Kita harus melangkah maju dan melanjutkan keterlibatan langsung kita dengan HTS dan faksi-faksi lainnya," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pembicaraannya di Ankara dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Namun, Iran masih menutup kedutaannya di Damaskus untuk sementara, dengan alasan persiapan terkait politik dan keamanan, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran yang dikutip oleh kantor berita ISNA.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)