TRIBUNNEWS.com - Bendera-bendera Israel di sepanjang zona penyangga Dataran Tinggi Golan di Suriah telah dicabut pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa (17/12/2024).
Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan pasukan perdamaian senantiasa melaksanakan tugas untuk mengamati dan melaporkan apa yang terjadi di zona penyangg aitu.
"Rekan penjaga perdamaian kami di Dataran Tinggi Golan, Pasukan Pengamat Pelepasan PBB (UNDOF), terus melaksanakan mandatnya untuk mengamati dan melaporkan dari posisinya di seluruh wilayah pemisahan," ujar Dujarric, Selasa, dikutip dari Anadolu Ajansi.
Dujarric menambahkan adanya Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di zona penyangga berdampak serius terhadap UNDOF.
Sebab, hal itu membuat operasi UNDOF menjadi lebih kompleks.
"Kehadiran tentara Israel di wilayah operasi UNDOF telah berdampak serius pada pasukan kami," ungkapnya.
Baca juga: Tuding Bos HTS Serigala Berbulu Domba, Pejabat Israel: Jangan Tertipu, Kita Tahu Sifat Asli Mereka
"Dalam konteks, saat ini UNDOF biasa melakukan sekitar 55 hingga 60 tugas operasional dan logsitik."
"Saat ini, UNDOF dibatasi pada tiga hingga lima pergerakan logistik penting per hari. (Adanya) IDF di zona penyangga berdampak signifikan pada operasinya (UNDOF)" urai Dujarric.
Ia juga menekankan pentingnya mengizinkan pasukan penjaga perdamaian untuk melaksanakan tugas mereka "tanpa halangan dan dengan cara yang aman dan terjamin".
Menurut UNDOF, tentara Israel memasuki wilayah zona penyangga dan mengerahkan pasukan di beberapa "lokasi penting", termasuk Gunung Hermon dan "Tank Hill" di sebelah timur garis Bravo.
"UNDOF juga mengamati bendera Israel di tiga posisi di dalam area pemisahan, semua bendera Israel telah diturunkan setelah adanya protes dari pejabat UNDOF," ujar perwakilan UNDOF.
Ia mengatakan misi tersebut menegaskan kembali tuntutannya bagi semua pihak untuk mematuhi perjanjian pelepasan tahun 1974 dan mempertahankan gencatan senjata yang berlaku.
Perjanjian pelepasan menetapkan batas-batas zona penyangga dan daerah demiliterisasi.
Pasukan ini diawasi oleh UNDOF karena bertugas menjaga gencatan senjata antara Israel dan Suriah setelah Perang Timur Tengah 1973.
Netanyahu Ngotot Tempatkan IDF di Puncak Hermon
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memastikan pasukannya akan tetap berada di zona penyangga perbatasan Suriah yang direbut setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad, tepatnya di puncak Gunung Hermon.
AP melaporkan Netanyahu berkunjung ke puncak Gunung Hermon pada Selasa (17/12/2024).
Hal ini menjadikannya seorang pemimpin Israel yang masih menjabat, yang telah menginjakkan kaki sejauh itu ke Suriah.
Netanyahu mengatakan ia pernah berada di puncak gunung yang sama 53 tahun lalu, sebagai seorang tentara.
Ia menyebut kedatangannya ke puncak Gunung Hermon, penting bagi keamanan Israel saat ini.
Di kesempatan itu, Netanyahu menegaskan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan tetap berada di puncak Gunung Hermon, sampai kesepakatan yang menjamin keselamatan Israel, bisa dibuat.
Baca juga: Diminta HTS Mundur, Israel Ngotot Tempatkan IDF di Hermon Suriah, Akan Bangun Benteng Pertahanan
"Kami akan tetap tinggal, sampai ditemukan kesepakatan lain yang menjamin keamanan Israel," kata Netanyahu dalam kunjungannya ke puncak Gunung Hermon bersama Menteri Pertahanan, Israel Katz, Selasa, dikutip dari Times of Israel.
Katz, di kesempatan yang sama, memerintahkan militer Israel untuk segera memposisikan diri di puncak Gunung Hermon.
Ia juga meminta militer Israel untuk segera membangun benteng pertahanan, guna mengantisipasi kemungkinan tinggal dalam waktu lama di tempat tersebut.
"Puncak Hermon adalah mata negara Israel untuk mengidentifikasi musuh-musuh kami yang berada di dekat maupun jauh," ujar Katz.
Meski demikian, sehari sebelumnya, pemimpin HTS, Mohammed al-Julani, telah meminta Israel untuk menghentikan serangan udara dan menarik diri dari wilayah Suriah yang diduduki.
"Pembenaran Israel (menduduki Suriah) adalah karena Hizbullah dan milisi Iran. Pembenaran itu sudah tidak ada lagi," kata al-Julani dalam wawancara eksklusif dengan The Times, Senin (16/12/2024).
Permintaan itu disampaikan al-Julani yang menegaskan pihaknya tak ingin berkonflik dengan pihak manapun.
Ia juga menekankan, tak akan membiarkan Suriah menjadi landasan serangan terhadap Israel ataupun negara manapun.
"Kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai landasaran peluncuran serangan."
"Rakyat Suriah butuh istirahat, dan serangan harus dihentikan. Israel harus mundur ke posisi sebelumnya," tegas dia.
Tumbangnya Rezim al-Assad
Diketahui, rezim Presiden Suriah, Bashar al-Assad, tumbang setelah puluhan tahun berkuasa, Minggu(7/12/2024), ketika ibu kota Damaskus jatuh ke tangan oposisi.
Setelah bentrokan meningkat pada 27 November 2024, rezim al-Assad kehilangan banyak kendali atas banyak wilayah, mulai Aleppo, Idlib, hingga Hama.
Akhirnya, saat rakyat turun ke jalanan di Damaskus, pasukan rezim mulai menarik diri dari lembaga-lembaga publik dan jalan-jalan.
Baca juga: Tak Hanya Ancam HTS di Suriah, Israel Juga Bakal Basmi Tentara dan Fasilitas Militer yang Tersisa
Dengan diserahkannya Damaskus ke oposisi, rezim al-Assad selama 61 tahun resmi berakhir.
Al-Assad bersama keluarganya diketahui melarikan diri dari Suriah, usai oposisi menguasai Damaskus.
Rezim al-Assad dimulai ketika Partai Baath Sosialis Arab berkuasa di Suriah pada 1963, lewat kudeta.
Pada 1970, ayah al-Assad, Hafez al-Assad, merebut kekuasaan dalam kudeta internal partai.
Setahun setelahnya, Hafez al-Assad resmi menjadi Presiden Suriah.
Ia terus berkuasa hingga kematiannya di tahun 2000, yang kemudian dilanjutkan oleh al-Assad.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)