Sejak militer Myanmar melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis pada Februari 2021, negara tersebut tenggelam dalam kekacauan politik.
Kudeta ini memicu gelombang protes massal yang berkembang menjadi pemberontakan anti-junta militer, terutama di wilayah-wilayah yang didominasi oleh etnis minoritas.
Mereka yang menentang rezim militer telah membentuk aliansi yang terdiri dari kelompok-kelompok etnis dan pasukan pertahanan yang dipimpin oleh warga sipil.
Perang saudara telah meningkat selama setahun terakhir, dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang meningkatkan tantangan serius terhadap cengkeraman militer terhadap kekuasaan selama setahun terakhir.
Pada akhir 2023, aliansi tiga kelompok oposisi, Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), dan Tentara Arakan atau Arakan Army (AA), melancarkan serangan besar-besaran di negara bagian Shan.
Dalam beberapa bulan terakhir, mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah, terutama di negara bagian Shan utara dan Rakhine barat.
Arakan Army dan ambisi wilayah otonom
Tentara Arakan atau Arakan Army (AA), sayap militer dari United League of Arakan (ULA), telah membuat kemajuan signifikan di medan perang dengan merebut puluhan kota dan pos militer dalam 15 bulan terakhir.
AA berfungsi sebagai cabang militer dari United League of Arakan (ULA), organisasi politik masyarakat Buddhis di negara bagian Rakhine barat Myanmar.
Pada 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian tersebut, memaksa sekitar 750.000 orang Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh.
Komunitas internasional mengkritik keras pemerintah Myanmar atas pembunuhan massal dan pemindahan paksa Rohingya, yang secara resmi dinyatakan oleh Amerika Serikat sebagai "genosida”.
AA dan ULA mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menciptakan sebuah wilayah otonom di negara bagian Rakhine yang mencakup populasi Muslim di samping Rakhine yang beragama Buddha.
Menjaga opsi tetap terbuka
Ye Myo Hein, seorang pakar senior tamu di Institut Perdamaian Amerika Serikat dan Rekan Global di Wilson Center, Washington, D.C., mengatakan bahwa Arakan Army menjaga agar opsi-opsinya tetap terbuka.
"AA saat ini fokus untuk mengusir militer Myanmar dari negara bagian Rakhine. Namun, ketika menyangkut masa depan politik, AA tampaknya tetap membuka semua opsi di atas meja, tidak mengecualikan kemungkinan untuk mendirikan negara baru yang merdeka,” katanya kepada DW.
"Meskipun masih terlalu dini untuk memprediksi hasil yang pasti, keputusan untuk mengejar kemerdekaan atau tetap menjadi bagian dari pemerintahan Myanmar akan sangat bergantung pada bagaimana negara di masa depan disusun,” tambah ahli tersebut.