TRIBUNNEWS.com - Sebanyak 11 orang tewas dalam serangan udara Israel di dekat Damaskus, Suriah, tepatnya di Kota Adra, pinggiran ibu kota, Minggu (29/12/2024).
Laporan media Arab melaporkan serangan drone Israel itu menghancurkan gudang senjata rezim Bashar al-Assad.
Drone itu dikatakan telah menembakkan dua rudal ke gudang yang terletak di area komersial.
Laporan media awal mengatakan sedikitnya dua orang tewas.
Tapi, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan 11 orang tewas, sebagian besar merupakan warga sipil, dilansir The Times of Israel.
SOHR mengungkapkan terjadi ledakan di depot senjata milik bekas rezim Assad.
Baca juga: Perwira Israel Khawatir IDF di Golan Suriah Diserang: Hanya Masalah Waktu, Semua Terasa Sia-sia
Ledakan itu, lanjut organisasi tersebut, "disebabkan oleh serangan Israel."
Menurut SOHR, warga sipil Suriah di daerah yang terdapat gudang senjata, terkadang mengatur agar isinya diledakkan untuk mencegah serangan udara Israel yang bisa menewaskan orang-orang di sekitar kawasan itu.
SOHR kerap dituding para analis perang Suriah melakukan pelaporan palsu dan membesar-besarkan jumlah korban.
Sementara itu, belum ada komentar langsung dari militer Israel mengenai serangan tersebut.
Di tengah serangan Israel yang masih berlanjut, pemerintah baru Suriah mengatakan pihaknya tak punya masalah dengan Tel Aviv.
Dalam wawancara bersama NPR, Kamis (26/12/2024), Gubernur Baru Damaskus, Maher Marwan, menyebut Israel "mungkin merasa takut terhadap faksi tertentu" saat pemerintahan baru Suriah resmi mengambil alih kekuasaan.
Hal itulah yang dikatakan Marwan, mendasari serangan Israel ke Suriah.
"Jadi mereka maju sedikit demi sedikit, mengebom, dan seterusnya," ujarnya, dilansir Al Mayadeen.
"Kami tidak takut terhadap Israel, dan masalah kami bukan dengan Israel," tegasnya.
Marwan menambahkan, pemerintah baru Suriah tidak ingin "mencampuri apapun yang akan mengancam keamanan Israel maupun negara lainnya."
Marwan kemudian meminta Amerika Serikat (AS) untuk menengahi hubungan yang lebih baik antara pemerintah baru Suriah dengan Israel.
"Kami menginginkan perdamaian, dan kami tidak bisa menjadi lawan Israel atau siapapun," pungkas dia.
Pasukan Israel Siap Tinggal Lebih Lama di Suriah
Sebelumnya, militer Israel mengungkapkan kesiapan mereka untuk tinggal lebih lama di Suriah.
Menurut Walla, "Meskipun ada tekanan dari partai-partai Eropa terhadap Israel, pejabat di Tel Aviv telah memerintahkan IDF untuk bersiap tinggal lebih lama di wilayah Suriah."
Baca juga: Iran Tegas Dukung Kedaulatan Suriah, tapi Beri Peringatan: Tak Boleh Jadi Surga bagi Terorisme
Laporan itu juga mencatat, tidak ada badan intelijen yang meramalkan keruntuhan cepat tentara bekas rezim Suriah.
Sebagai hasilnya, militer Israel sekarang membangun kehadiran yang lebih signifikan di wilayah tersebut.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sendiri telah memastikan pasukannya akan tetap berada di zona penyangga perbatasan Suriah yang direbut setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad, tepatnya di puncak Gunung Hermon.
AP melaporkan, Netanyahu berkunjung ke puncak Gunung Hermon pada Selasa (17/12/2024).
Hal ini menjadikannya seorang pemimpin Israel yang masih menjabat, yang telah menginjakkan kaki sejauh itu ke Suriah.
Netanyahu mengatakan ia pernah berada di puncak gunung yang sama 53 tahun lalu, sebagai seorang tentara.
Ia menyebut kedatangannya ke puncak Gunung Hermon, penting bagi keamanan Israel saat ini.
Di kesempatan itu, Netanyahu menegaskan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan tetap berada di puncak Gunung Hermon, sampai kesepakatan yang menjamin keselamatan Israel, bisa dibuat.
"Kami akan tetap tinggal, sampai ditemukan kesepakatan lain yang menjamin keamanan Israel," kata Netanyahu dalam kunjungannya ke puncak Gunung Hermon bersama Menteri Pertahanan, Israel Katz, Selasa.
Katz, di kesempatan yang sama, memerintahkan militer Israel untuk segera memposisikan diri di puncak Gunung Hermon.
Ia juga meminta militer Israel untuk segera membangun benteng pertahanan, guna mengantisipasi kemungkinan tinggal dalam waktu lama di tempat tersebut.
"Puncak Hermon adalah mata negara Israel untuk mengidentifikasi musuh-musuh kami yang berada di dekat maupun jauh," ujar Katz.
Seorang pejabat militer Israel, yang berbicara dengan syarat anonim sesuai peraturan, mengatakan tidak ada rencana untuk mengevakuasi warga Suriah yang tinggal di desa-desa dalam zona penyangga.
Sebagai informasi, zona penyangga antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, dibuat oleh PBB setelah Perang Timur Tengah tahun 1973.
Pasukan PBB yang terdiri dari sekitar 1.100 tentara, telah berpatroli di daerah tersebut sejak saat itu.
Terkait keberadaan pasukan Israel di zona penyangga, PBB menyebut tindakan itu telah melanggar kesepakatan tahun 1974 yang membentuk zona tersebut.
Kesepakatan itu "harus dihormati, dan pendudukan adalah pendudukan, entah itu berlangsung seminggu, sebulan, atau setahun, itu tetap pendudukan," komentar Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric.
Belum ada komentar langsung dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang memimpin penggulingan Assad, atau dari negara-negara Arab.
Meski demikian, sehari sebelumnya, Pemimpin HTS, Mohammed al-Julani atau Ahmed al-Sharaa, telah meminta Israel untuk menghentikan serangan udara dan menarik diri dari wilayah Suriah yang diduduki.
"Pembenaran Israel (menduduki Suriah) adalah karena Hizbullah dan milisi Iran. Pembenaran itu sudah tidak ada lagi," kata al-Julani dalam wawancara eksklusif dengan The Times, Senin (16/12/2024).
Permintaan itu disampaikan al-Julani yang menegaskan pihaknya tak ingin berkonflik dengan pihak manapun.
Ia juga menekankan, tak akan membiarkan Suriah menjadi landasan serangan terhadap Israel ataupun negara manapun.
"Kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai landasan peluncuran serangan."
"Rakyat Suriah butuh istirahat, dan serangan harus dihentikan. Israel harus mundur ke posisi sebelumnya," tegas dia.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)