TRIBUNNEWS.COM - Pada Selasa (2/1/2025), pemimpin pemerintahan baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan nama Abu Mohammad al-Julani, bertemu dengan tokoh pemuka agama Kristen di istana pemerintah di Damaskus.
Foto-foto yang dirilis oleh Kantor Berita Suriah (SANA) menunjukkan Julani menjamu perwakilan dari berbagai organisasi Kristen, termasuk komunitas Ortodoks, Katolik, Ortodoks Armenia, Ortodoks Suriah, dan Protestan.
Umat Kristen diperkirakan berjumlah sekitar 10 persen dari populasi Suriah, yang jumlahnya sekitar 23 juta sebelum perang saudara meletus pada tahun 2011.
Kepemimpinan baru Suriah telah menetapkan tanggal 25-26 Desember sebagai hari libur resmi untuk merayakan Natal.
Mereka juga memastikan lembaga-lembaga negara tetap tutup selama perayaan tersebut.
Di Suriah, hari raya Natal dan Paskah, serta Tahun Baru, secara tradisional diperingati sebagai bagian dari pendekatan inklusif negara tersebut terhadap keberagaman agama.
Sejak perang saudara meletus, komunitas Kristen menjadi sangat terdampak, TRT World.
Di Aleppo, misalnya, populasi Kristen menurun drastis dari sekitar 200.000 jiwa sebelum 2011 menjadi hanya 30.000 jiwa saat ini, menurut para pemimpin komunitas.
Dalam pertemuan dengan pemuka agama Kristen, Sharaa juga mengadakan pembicaraan “positif” dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin oleh Kurdi pada hari Senin.
Pembicaraan ini menjadi yang pertama dengan para komandan Kurdi sejak penggulingan rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024.
SDF sebelumnya memainkan peran utama dalam kampanye militer yang mengalahkan ISIS di wilayah terakhir mereka di Suriah pada 2019.
Baca juga: Media Inggris: Presiden Terguling Bashar Assad Nyaris Tewas Diracun di Rusia, Dirawat di Apartemen
Meski demikian, Turki, yang memiliki hubungan dengan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berafiliasi dengan Sharaa, menuduh SDF memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang selama ini terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah Turki, Al Jazeera melaporkan.
Sharaa menegaskan bahwa senjata harus berada di tangan negara dan menyatakan bahwa siapapun yang bersenjata dan memenuhi syarat dapat bergabung dengan Kementerian Pertahanan Suriah.
Hal ini menjadi bagian dari upaya untuk mengintegrasikan pasukan SDF ke dalam tentara nasional yang baru dibentuk.