Awan ketidakpastian menyelimuti Korea Selatan. Negara ini masih terguncang akibat deklarasi darurat militer singkat oleh Presiden Yoon Suk Yeol pada awal Desember.
Krisis politik ini telah berdampak pada ekonomi negara tersebut. Pasar saham terlihat tidak stabil, mata uang Korea Selatan, terus melemah, dan investor asing beralih ke instrumen investasi lainnya.
Sebagian besar masalah ini berakar dari perebutan kekuasaan di tingkat tertinggi. Yoon menolak kooperatif dalam penyelidikan atas tindakannya dan menentang perintah penangkapannya.
Mahkamah Konstitusi tengah mempertimbangkan apakah Yoon dapat dimakzulkan, sementara Partai Demokrat oposisi menuntut pemilu umum segera diadakan.
Namun, bisnis di Korea Selatan juga gelisah dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih akhir Januari ini.
Menjelang pemilu AS, Trump menyebut Korea Selatan sebagai "mesin uang" dan mengisyaratkan bahwa ia akan meminta Seoul membayar miliaran dolar lebih banyak untuk menempatkan pasukan AS di negara tersebut.
Presiden terpilih AS itu juga berjanji untuk memberlakukan tarif internasional secara luas untuk mendorong agenda "America First".
Kepercayaan bisnis turun seperti saat pandemi
"Secara sederhana, banyak ketidakstabilan politik yang kita saksikan dalam sebulan terakhir belum terselesaikan," kata Kim Sang-woo, mantan politisi dari Kongres Baru untuk Politik Korea Selatan dan anggota dewan Kim Dae-jung Peace Foundation.
"Won sudah lemah terhadap dolar, tetapi situasinya memburuk karena ketidakstabilan ini, dan saya khawatir tidak ada pemahaman yang jelas tentang siapa yang memimpin negara saat ini," ujarnya kepada DW.
"Itu sangat mengkhawatirkan perusahaan, yang takut merencanakan tahun depan," tambahnya.
Krisis ini bisa berakhir dengan Yoon terhindar dari pemakzulan dan kembali menjabat sebagai presiden, meskipun hal ini kemungkinan besar akan memicu kemarahan publik. Skenario lain adalah lawan-lawan Yoon dari Partai Demokrat mendorong pemilu baru yang kemungkinan besar akan mereka menangkan.
Namun, untuk saat ini, Korea Selatan terombang-ambing.
Sebuah survei terbaru oleh Bank of Korea menunjukkan sentimen bisnis turun ke level terendah dalam empat tahun.
Indeks Sentimen Bisnis Komposit bulanan juga turun 4,5 poin dari angka November, mencapai level terendah sejak September 2020, ketika ekonomi merasakan dampak penuh pandemi COVID-19.
Laporan kedua dari bank sentral memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 akan di bawah 2%, disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan ekspor dan menurunnya belanja konsumen. Angka ini bahkan bisa turun lebih jauh jika ketegangan perdagangan global memburuk.
Guncangan ekonomi dan pasar saham
Para analis mengatakan saham di Korea Composite Stock Price Index (KOSPI), pada Senin (6/01), pulih sebagian dari kerugian yang terjadi dalam beberapa minggu setelah pengumuman Yoon, meskipun pasar tetap bergejolak akibat ketidakpastian politik.
Mata uang Korea Selatan, won, terus melemah terhadap dolar. Won diperdagangkan mendekati level terendah dalam 16 tahun terakhir. Situasi serupa terakhir kali terlihat setelah krisis keuangan global.
Pemerintah juga mengonfirmasi pada 30 Desember bahwa investor asing telah menjual lebih dari 17 triliun won (sekitar Rp204 triliun) obligasi negara Korea sejak Yoon mengumumkan darurat militer. Hal ini menandakan hilangnya kepercayaan terhadap stabilitas keuangan Korea Selatan.
Badai ekonomi terbaru ini terjadi setelah berbulan-bulan kinerja perusahaan yang lemah. Minggu lalu, pemerintah mengumumkan bahwa pendapatan pajak turun 8,5 triliun won (sekitar Rp102 triliun) dalam 11 bulan pertama 2024 dibandingkan 2023.
Dampak ketegangan AS-Cina terhadap Korea Selatan
Ancaman lain bagi banyak perusahaan Korea Selatan adalah ketergantungan mereka pada komponen yang dipasok oleh perusahaan Cina.
Dengan kembalinya Trump dan meningkatnya perang dagang AS-Cina, perusahaan-perusahaan tersebut bisa menghadapi penalti yang lebih besar karena AS berusaha menekan Cina dari rantai produksi.
"Ada juga banyak ketidakpastian tentang pemerintahan baru di Washington, apa yang akan dilakukan Trump terkait tarif, dan tekanan yang mungkin dia berikan pada Seoul untuk merundingkan ulang perjanjian perdagangan bebas Korea Selatan-AS," kata Mason Richey, profesor politik dan hubungan internasional di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul.
"Jelas bahwa kebijakan Trump terhadap Cina juga akan berdampak besar di sini, seperti untuk produsen baterai kendaraan listrik," tambahnya.
Jika rival Yoon berkuasa
Meskipun bisnis menginginkan stabilitas pemerintahan yang mapan, banyak yang kurang antusias dengan kemungkinan kembalinya Partai Demokrat ke kekuasaan, kata Richey.
"Jika Yoon dimakzulkan dan dicopot dari jabatannya, pemilu harus diadakan dalam 60 hari dan kemungkinan besar Partai Demokrat akan menang,” katanya.
"Tetapi mereka lebih cenderung memberlakukan pajak dan regulasi yang ketat pada industri dibandingkan pemerintahan Yoon.”
Richey menyebut industri nuklir sipil sebagai sektor yang akan terpengaruh oleh perubahan kekuasaan.
Di bawah pemerintahan Moon Jae-in yang berhaluan kiri sebelum Yoon, energi nuklir mulai dihentikan sepenuhnya. Yoon membalikkan kebijakan itu dan menjadikannya sektor ekspor utama.
Jika Demokrat kembali berkuasa, Korea Selatan bisa sekali lagi menghentikan nuklir, jenis kebijakan yang membuat perencanaan bisnis menjadi sulit, ujar Richey.
Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.