"Bicara ruang hidup orang Rimba, ada yang namanya hutan tempat kelahiran, ada hutan untuk berburu atau melangun," kata Pengendum, Selasa (07/01).
"Ketika salah satu warga meninggal, kami harus berkelana untuk meninggalkan kesedihan. Ruang berpindah itu kini sudah menjadi lokasi transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit," tuturnya.
Pengendum adalah Orang Rimba yang unik. Dia adalah satu dari sedikit Orang Rimba yang menempuh pendidikan formal dan kini menyelaraskan kehidupan kota dan tradisi leluhur.
Saat berumur 11 tahun, Pengendum mengabaikan permintaan orang tuanya yang melarang dia bersekolah. Pendidikan, menurut kepercayaan ayah dan ibunya, akan membuat Pengendum bersatu dengan roh jahat.
Pengendum pada tahun 2001 itu memutuskan masuk Sokola Rimba, ruang pendidikan alternatif yang digagas antropolog Butet Manurung untuk Suku Anak Dalam.
Pengendum tak sampai mengenyam pendidikan tinggi, tapi dia sempat mempelajari ilmu di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Sejarah inilah yang membuatnya fasih membahas persoalan hutan, hukum, dan adat.
"Pemerintah biasanya hanya memberi izin perusahaan berbasis peta, tanpa melihat bahwa di dalamnya ada kehidupan manusia," ujarnya.
Akibatnya, kata Pengendum, Orang Rimba terus-menerus berkonflik dengan perusahaan dan warga transmigran.
Pohon-pohon di ruang hidup Orang Rimba telah masuk ke petak-petak kebun warga. Masuk, apalagi mengambil manfaat dari pohon itu, akan dianggap sebagai pencurian.
"Sekitar tahun 2000-an, di lahan yang memang sudah jadi milik masyarakat luar, ada Orang Rimba tetap nekat mengambil buah pete. Waktu lagi di atas pohon, dia ditembak, jatuh, lalu meninggal," ujar Pengendum.
"Orang Rimba beralasan, ini kan lahan nenek moyang kami. Sementara alasan orang luar: 'kamu mencuri, ini lahan saya'," tuturnya.
Hal serupa juga kerap terjadi ketika Orang Rimba mengambil butiran buah yang lepas dari tandan buah kelapa sawit (brondol)—yang mereka anggap tak dipakai perusahaan.
"Perusahaan hampir tiap bulan di sini ribut dengan masyarakat adat. Mereka mengarap lahan, menguasai, memanfaatkan hasil hutan, sementara masyarakat adat menjadi penonton," kata Pengendum.