News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan disebut menguntungkan korporasi dan merugikan warga? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan disebut menguntungkan korporasi dan merugikan warga? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur

"Di Kampung Silit itu tidak ada konflik. Hutan mereka tetap terjaga, dijauhkan dari aktivitas industri ekstraktif," kata Adam.

Adam berkata, orang-orang Dayak Seberuang di Kampung Silit berdaulat atas sumber daya hutan mereka.

Pada 2016, mereka secara swadaya memanfaatkan aliran sungai menjadi tenaga mikrohidro. Inisiatif yang biayanya ditanggung secara kolektif ini memberikan mereka aliran listrik—kebutuhan dasar yang tak pernah mereka sebelumnya.

"Kampung ini jauh dari ibu kota kabupaten—sekitar 130 kilometer dari Sintang. Tapi mereka berhasil jadi kampung yang mandiri secara energi," ujar Adam, yang lembaganya turut mendampingi warga Dayak Seberuang dalam proses pengajuan hutan adat.

Rencana pemerintah membabat 20 juta hektare hutan untuk lumbung pangan dan energi kontradiktif dengan apa yang dijalani warga Dayak Seberuang, kata Uli Arta Siagian, pengurus Eksekutif Nasional Walhi.

Uli berkata, Dayak Seberuang di Sintang bukan hanya menciptakan energi, tapi juga berdaulat atas pangan mereka.

"Untuk penyedap rasa saja mereka tidak pakai bumbu Ajinomoto atau Masako. Mereka pakai tumbuhan lokal yang ada di sekitar ruang hidup mereka," kata Uli.

"Ini menunjukkan, ketika negara mengakui hak warga atas tanah dan ruang hidup mereka, mereka bisa memanfaatkannya dan berdaulat," ujar Uli.

Wacana deforestasi besar-besaran pemerintah membuat Uli miris, karena digagas untuk industri berskala besar. Artinya, kata dia, hanya perusahaan yang bisa mengerjakan lumbung pangan dan energi itu—bukan masyarakat.

Uli menyebut proyek 20 juta hektare itu lebih buruk ketimbang program perhutanan sosial era pemerintahan Jokowi.

Perhutanan sosial diklaim oleh rezim Jokowi sebagai upaya memeratakan ekonomi. Melalui program ini, ketimpangan penguasaan lahan antara korporasi dan masyarakat telah menurun.

Caranya, pemerintah memberi hak pengelolaan 12,7 hektare hutan kepada warga melalui lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanam rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Dalam dua periode pemerintahan, rezim Jokowi membuat klaim telah membagi hak kelola sebesar 8 juta hektare, untuk 1,3 juta keluarga.

Klaim-klaim itu disanggah aktivis agraria. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria misalnya, proyek perhutanan sosial yang berfokus pada pemberian akses tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni hak penuh warga atas tanah.

"Pembukaan 20 juta hektare ini tentu akan lebih buruk dari program perhutanan sosial," kata Uli.

"Di banyak tempat, perhutanan sosial sebenarnya memberi manfaat kepada petani yang selama ini ditangkap polisi karena dituduh merusak kawasan hutan.

"Proyek 20 juta hektare ini juga akan lebih berdampak buruk karena sudah hampir dipastikan alokasi hutan jatuh ke tangan korporasi," ujar Uli.

'Dampak lain yang tak diketahui sebelumnya'

Deforestasi besar-besaran sangat berpotensi menghilangkan bahasa ibu yang dituturkan masyarakat adat. Analisis ini dibuat oleh Akbar Kurniawan, linguis dari Universitas Ma'arif Nahdlatul Ulama Kebumen.

Akbar selama sekitar tujuh bulan pada 2018 meneliti kearifan ekologis dalam leksikon bahasa Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Riset itu dilakukannya setelah lima tahun mengajar secara sukarela di Sokola Rimba.

Akbar bilang, Orang Rimba memiliki pengetahuan tradisional terkait klasifikasi, penamaan, dan pengaturan hutan.

Dalam risetnya, Akbar mencatat bahwa Orang Rimba membagi hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas ke dalam sembilan jenis kategori.

  • Tano Nenek Puyang: kawasan hutan bersejarah karena dahulu menjadi tempat tinggal nenek moyang
  • Bebalai atau Balu Balai: kawasan yang didominasi pepohonan yang tinggi dan sering digunakan sebagai tempat ritual keagamaan
  • Bento Benuaron: kawasan hutan yang banyak ditumbuhi pohon bebuahan
  • Tano Peranaon: kawasan yang digunakan sebagai tempat melahirkan, memiliki ciri hutan yang begitu lebat, terkadang terdapat pohon bebuahan dan dekat dengan sumber air
  • Tano Pasoron: kawasan untuk permakaman, berupa hutan lebat, ditumbuhi berbagai jenis pohon berusia ratusan tahun
  • Tano Terban: kawasan di tepi sungai, berkontur curam, terbentuk akibat longsoran yang hampir menutupi sungai
  • Tempelanai: kawasan hutan yang ciri tanahnya bergelombang, cukup luas, dan ditumbuhi pepohonan dengan ukuran yang bervariasi
  • Subon atau susupon: area yang rendah dan digenangi air (rawa), banyak ditumbuhi perdu, semak, dan pepohonan besar
  • Sepelayongon Doun: kawasan yang ditumbuhi kelompok pohon yang menjadi tempat lebah madu liar (Apis dorsata) bersarang

"Klasifikasi dan pembagian hutan pada wilayah adat Orang Rimba adalah wujud dari konservasi tradisional yang berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu," kata Akbar via pesan teks.

Akbar berkata, deforestasi akan menghilangkan sebagian atau seluruh kawasan hutan.

Dampaknya, kata Akbar, kosakata, tata bahasa, ritual adat, pengetahuan tradisional, dan aspek budaya lain yang ada pada kawasan itu juga akan hilang.

Risiko ini tidak hanya ditanggung Orang Rimba, tapi juga kelompok adat lain yang hidup di dalam maupun sekitar hutan.

"Linguisida menghancurkan keanekaragaman linguistik dan budaya, yang merupakan identitas masyarakat adat sekaligus cermin dari kebudayaan mereka," ujar Akbar.

"Kehilangan bahasa ibu dan ruang hidup membuat masyarakat adat kehilangan eksistensinya sebagai manusia yang utuh," kata Akbar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini