Di bawah kepemimpinan Duterte, pasukan keamanan Filipina melakukan ribuan pembunuhan yang disebut pemerintah sebagai bagian dari perang melawan narkoba.

Dalam laporan tahun 2017, Human Rights Watch menyoroti kebijakan Duterte sebagai kampanye eksekusi di luar hukum, yang menargetkan masyarakat miskin di Manila dan kota-kota besar lainnya.
Menurut laporan organisasi tersebut, Kepolisian Nasional Filipina telah membunuh lebih dari 7.000 orang sejak awal masa jabatan Duterte hingga perilisan laporan tersebut.
Pada tahun yang sama, Duterte mendapat pujian dari Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang dalam panggilan telepon menyebutnya telah melakukan "pekerjaan luar biasa" dalam menangani masalah narkoba, menurut laporan yang beredar saat itu.
Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, menyambut baik penangkapan Duterte:
"Penangkapan ini memberikan harapan bagi para korban di Filipina dan di seluruh dunia."
"Penangkapan ini menunjukkan bahwa tersangka pelaku kejahatan terburuk, termasuk pemimpin negara, dapat dan akan diadili, di mana pun mereka berada."
"Di saat banyak pemerintah mengabaikan kewajiban mereka terhadap ICC, sementara yang lain justru menyerang atau memberikan sanksi kepada pengadilan internasional, penangkapan Duterte adalah momen penting bagi supremasi hukum internasional."
Sengketa Yurisdiksi ICC
Mantan penasihat hukum Duterte, Salvador Panelo, menegaskan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi di Filipina.
Menurutnya, Filipina telah mengundurkan diri dari ICC sejak 2018, sehingga pengadilan internasional tersebut tidak memiliki kewenangan atas kasus ini.
Namun, ICC menyatakan bahwa kasus Duterte hanya mencakup dugaan kejahatan yang terjadi saat Filipina masih menjadi negara anggota.
Berdasarkan salinan surat perintah yang diperoleh The New York Times, tiga hakim ICC menyatakan bahwa mereka memiliki alasan kuat untuk meyakini bahwa Duterte bertanggung jawab atas pembunuhan dalam perang melawan narkoba.
Baca juga: Mengapa Duterte Ditangkap? Ini 4 Fakta tentang Perang Melawan Narkoba Mantan Presiden Filipina
"Ada cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa serangan ini bersifat luas dan sistematis," bunyi surat perintah tersebut.
Pada tahun 2022, pemerintah Filipina mengakui bahwa lebih dari 6.200 tersangka narkoba tewas selama kebijakan perang terhadap narkoba yang dimulai Duterte sejak 2016.
Namun, kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi, mencapai puluhan ribu, menurut laporan PBS.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)