TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA - Sejumlah pakar terkait penerbangan menyatakan pembacaan awal atas data yang diyakini sebagai "bocoran" layar monitor menara pengawas lalu lintas udara, mendapatkan pesawat AirAsia QZ8501 terbang dengan kecepatan terlalu pelan untuk naik melewati awan kumulonimbus (CB).
"Meski semua penjelasan kemungkinan penyebab hilangnya penerbangan AirAsia adalah spekulasi pada saat ini, kami tak bisa mengabaikan ada kejadian yang sangat mirip, yakni kecelakaan Air France 447 (AF447)," ujar blogger yang menekuni dunia penerbangan, David Cenciotti, seperti dikutip dari theavionist.com oleh AFP.
Cenciotti menambahkan, rendahnya ground speed yang tertera dalam "bocoran" layar pemantau radar tersebut bisa jadi disebabkan sudah ada hantaman keras angin dari arah depan pesawat.
Sementara itu, konsultan Whitesky Aviation yang berbasis di Jakarta, Gerry Soejatman, spontan menyebut kecepatan yang tertera dalam "bocoran" layar pemantau radar itu sebagai "extremly low".
"Ketika pesawat berada di bawah kecepatan yang diperlukan stall, kemungkinan dia akan jatuh," ujar Gerry. Pertanyaannya, dengan klaim pilot pesawat ini sudah berpengalaman, kenapa kecepatan itu bisa terlalu rendah?
Sudah ada turbulensi
Gerry menambahkan, bukti yang ditemukan sejauh ini masih menyatakan insiden QZ8501 hanya terkait dengan cuaca. "Sebagai faktor utama atau pendukung (belum dapat dipastikan juga)," ujar dia seperti dikutip dari AFP.
Dari data yang sudah terpublikasi sampai Selasa malam, kata Gerry, pilot telah membelokkan pesawat ke kiri dari jalurnya semula, bersamaan dengan meminta izin menara pengawas (ATC) untuk naik ke ketinggian 38.000 kaki.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, izin dari ATC diberikan langsung untuk pembelokan arah tetapi tidak untuk menambah ketinggian ke jarak yang diminta. AirNav Indonesia mengaku mengambil waktu dua hingga tiga menit untuk berkoordinasi dengan menara kontrol di Singapura.
Saat itu, QZ8501 hanya mendapatkan izin naik sampai ketinggian 34.000 kaki terlebih dahulu dengan alasan kepadatan jalur udara pada saat itu. (Baca juga: Dua Menit yang Penuh Tanda Tanya dari AirAsia QZ8501).
Ketika pesawat dihubungi kembali untuk menegaskan izin menaikkan ketinggian hingga 34.000 kaki, menurut AirNav Indonesia, kontak sudah terputus. AirNav menyebutkan komunikasi terputus total pada pukul 06.14 WIB, sekalipun pesawat masih terlihat di layar pemantau radar.
"Namun, (dari data ini) ada indikasi pesawat tetap menaikkan ketinggian tanpa menunggu persetujuan. Kalau benar begitu, turbulensi kemungkinan sudah terjadi dan pilot memutuskan menyelamatkan pesawat ketimbang menunggu persetujuan ATC (untuk menambah ketinggian)," kata Gerry.
Adapun Athony Brickhouse, anggota perkumpulan penyidik keselamatan udara, menyatakan bukan baru kali ini pada penerbangan dengan rute yang sudah ditentukan mengalami sebuah kejadian dan pilotnya langsung berupaya melakukan sesuatu untuk mengatasinya tanpa menunggu persetujuan ATC.
"Penerbang pada umumnya cenderung menghindari badai sebisa mungkin, untuk memberikan kenyamanan kepada para penumpangnya," kata Brickhouse, yang juga adalah asisten profesor di Embry-Riddle Aeronautical University, seperti dikutip AFP.
"Saat ini, fakta bahwa pesawat tersebut mencoba menghindari cuaca buruk, tidak memberikan banyak gambaran tentang apa yang terjadi," imbuh Brickhouse.
Sejumlah analisis memperkirakan pesawat AirAsia QZ8501 hilang setelah gagal melewati awan kumulonimbus (cumulonimbus/CB). Bila kasus AF447 dianggap serupa, dalam insiden tersebut yang terjadi adalah pitot pesawat membeku ketika memasuki CB.
Pitot merupakan piranti serupa tabung yang terpasang di bagian depan pesawat untuk mengukur tekanan udara di sekitarnya. Ketika alat ini beku, pilot akan kesulitan mengukur kecepatan pesawatnya sendiri dan bisa salah membuat keputusan.
Dalam data bocoran tersebut, terpantau ground speed QZ8501 adalah 353 knot. Dari beberapa referensi penerbangan, kecepatan aman yang dibutuhkan dalam kondisi tersebut seharusnya di kisaran 480 knot sampai 500 knot, atau air speed sekitar 0,8 mach.