TRIBUNNEWS.COM — Melakukan ekspedisi di Kepulauan Solomon, ilmuwan berhasil mengungkap keberadaan penyu yang memancarkan cahaya neon.
Menariknya, fenomena itu dijumpai pada penyu yang sebenarnya sudah dikenal luas dan terancam punah, hawksbill sea turtle atau penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Penyu tersebut memancarkan cahaya dengan biofluoresensi, memantulkan cahaya biru yang diterimanya menjadi cahaya lain, dalam hal ini hijau dan kuning.
Biofluoresensi berbeda dengan bioluminesensi ketika hewan menghasilkan cahaya sendiri lewat reaksi kimia tertentu.
Biofluoresensi telah dijumpai pada banyak hewan laut, seperti pari, hiu, dan hewan lunak berukuran kecil. Temuan ini mengagumkan karena untuk kali pertama hal tersebut ditemukan pada penyu secara khusus, dan reptil secara umum.
"Saya sudah (mempelajari penyu) dalam waktu lama, dan saya pikir tidak ada orang yang pernah menjumpai ini. Ini benar-benar mengagumkan," kata Alexander Gaos, Direktur Eastern Pacific Hawksbill Initiative, yang tak terlibat riset, seperti dikutip National Geographic pada Senin (28/9/2015).
Kisah penemuan
Penemuan bermula dari program penelitian David Gruber, ahli biologi kelautan dari City University of New York, di Kepulauan Solomon pada akhir Juli lalu. Gruber berniat merekam hiu kecil dan terumbu karang yang memancarkan cahaya di wilayah itu.
Suatu malam, ketika menyelam, tim Gruber sedang berjaga untuk buaya yang biasa melewati perairan itu. Tiba-tiba, penyu bercahaya itu keluar. Gruber mengatakan, penyu itu tampak seperti pesawat antariksa raksasa milik alien yang bercahaya hijau dan merah.
Gruber merekam penyu itu dengan kamera. Dia mengikuti penyu tersebut untuk beberapa saat hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti. "Saya tak ingin mengusiknya," ungkap Gruber.
Gruber mengira bahwa penyu sisik sulit ditemukan, hingga akhirnya mengetahui bahwa warga sekitar banyak yang menangkarkan bayinya. Gruber sempat mengobservasi kemampuan penyu yang ditangkarkan dalam memancarkan cahaya. Hasilnya, semua penyu memancarkan cahaya merah.
Teka-teki
Gaos dan Gruber mengungkapkan, biasanya biofluoresensi pada hewan berfungsi untuk menarik perhatian hewan yang dimangsa, bertahan dari pemangsa, serta untuk komunikasi. Dalam kasus penyu sisik, keduanya belum bisa memastikan. Studi pada penyu itu juga sulit.
"Akan sulit untuk mempelajari penyu itu karena populasinya hanya tersisa sedikit dan sangat dilindungi," kata Gruber. Populasi jenis itu berkurang 90 persen dalam beberapa dekade. Oleh karenanya, Gruber akan mempelajari penyu hijau yang masih memiliki kedekatan. (Yunanto Wiji Utomo)