TRIBUNNEWS.COM - Belum banyak yang tahu cerita Brigadir Jenderal (Pur) Slamet Murtedjo Singgih tentang paket yang dikirimkan kepada Wiweko Soepono dan RAJ Lumenta –keduanya mantan Direktur Utama Garuda Indonesia– berisi granat bercampur buah salak.
Peristiwa itu sepertinya berkaitan dengan pemogokan para pilot Garuda pada awal tahun 1980.
Slamet Singgih, seorang intel militer Angkatan Darat, mengetahui cerita tersebut dari mertuanya, Suharman, perwakilan Garuda yang bertugas di Belanda pada tahun 1980-an.
Cerita ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya “Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu”.
Direktur Utama Garuda Indonesia Airways –sekarang Garuda Indonesia—Wiweko Soepono dan Sekretaris Perusahaannya RAJ Lumenta kaget dan ketakutan ketika mereka menerima kiriman paket berisi satu granat tangan dan 10 buah salak.
Setelah menerima paket tersebut, pengamanan terhadap kedua pejabat Garuda itu pun diperketat, baik di rumah, dalam perjalanan, maupun di kantor.
Kiriman paket itu kemudian diserahkan kepada Laksamana TNI Sudomo, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) waktu itu, untuk dilakukan pengusutan.
Dugaan dan spekulasi yang beredar, pengirim granat adalah pihak Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat).
Alasannya, salah seorang pilot Garuda, Capt Ari Singgih, masih kerabat istri dari Letjen TNI Kemal Idris, Panglima Kostrad waktu itu.
Namun sampai sekarang, hampir 35 tahun, kasus ini belum terungkap. Aparat tidak dapat mengungkap siapa pengirim paket granat dan buah salak tersebut. Apa pula motifnya, belum bisa diketahui secara pasti.
Kenapa ada orang yang “iseng” mengirimkan granat kepada direktur utama dan sekretaris perusahaan Garuda?
Barangkali kita bisa menyimak kilas balik kejadian pada era tahun 1970-an. Mungkin tidak ada hubungannya, tapi boleh jadi ada keterkaitannya.
Pada era 1970-an, di bawah kepemimpinan Wiweko Supono, Garuda Indonesia merupakan perusahaan yang mencapai kemajuan yang sangat pesat.
Inilah satu-satunya maskapai penerbangan di Indonesia yang mengoperasikan pesawat jet.
Armada jet yang dimilikinya saat itu adalah pesawat DC-10, DC-9, DC-8, dan F-28.
Pada masa itu, Garuda mengalami modernisasi, sehingga logo pun diperbaharui dengan tulisan “Garuda” dan garis berwarna oranye.
Perkembangan perusahaan yang terus melesat pada tahun 1980-an, mendorong Garuda untuk mendatangkan pesawat berbadan lebar Boeing 747-200 dan membeli Airbus A300B4 FFCC (Forward Facing Crew Cockpit).
Pada era ini, armadanya adalah Boeing 747-200, DC-10, Airbus A300B4, DC-9, dan F-28. Pada saat itu pula, Garuda memiliki 36 unit pesawat F-28, sehingga menjadi operator F-28 terbesar di dunia.
Namun di balik kemajuan itu, kesejahteraan karyawan tidak diperhatikan.
Bahkan penumpang pun tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan, dibandingkan dengan yang ditawarkan maskapai penerbangan lain di Indonesia.
Sebagai contoh, kalau penerbangan lain untuk rute Jakarta-Surabaya mendapatkan makan atau roti-roti kecil serta minuman yang memadai, di Garuda hanya mendapat permen dan air putih.
Dari hal-hal yang terjadi tersebut, timbullah kegelisahan di kalangan karyawan, khususnya para pilot.
Kegelisahan para pilot ini terutama dipicu oleh perbedaan gaji dan fasilitas yang diterima pilot-pilot asing yang dikontrak Garuda. Capt Ari Sapari, mantan direktur operasi Garuda, pernah berujar, “Waktu saya masuk tahun 1970, gaji pilot asing 10 kali lipat gaji kami!”
Kondisi itu menyebabkan para karyawan merasa tidak puas.
Mereka membuat selebaran-selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat yang mudah dibaca karyawan lain. Mereka pun berunjuk rasa di sekitar kantor Garuda hingga menjadi isu nasional.
Bahkan untuk menunjukkan aksinya sewaktu terbang, para pilot itu memakai gantungan di lehernya bertuliskan “Resah”, yang menimbulkan rasa waswas penumpang.
Pada 17 Januari 1980, beberapa karyawan dan pilot mengadakan rapat yang dipimpin oleh Capt Subekti dan Capt Henry Sumolang.
Mereka sepakat untuk melakukan unjuk rasa ke DPR.
Slamet sebagai Dandem Intel melaporkan hal tersebut kepada Pangdam V/Jaya Mayjen Norman Sasono, setelah mengecek kebenaran informasi tersebut.
Dalam rapat yang dipimpin Pangkopkamtib Sudomo dan dihadiri Wiweko, Lumenta, dan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo, informasi tersebut disampaikan oleh Norman.
Namun Wiweko tak percaya. Wiweko mengatakan, ”Onmogelijke, onmogelijke, mijn jongens zaal dat niet doen (Itu tidak mungkin, itu tidak mungkin, pilot saya akan melakukan yang seperti itu).”
Ternyata betul, unjuk rasa ke DPR terjadi. Unjuk rasa 30 karyawan dan pilot Garuda yang dipimpin oleh Capt Subekti dan Capt H Sumolang itu berlangsung pada 29 Januari 1980.
Tentu saja pimpinan Garuda, khususnya Wiweko, terkejut.
Beberapa hari kemudian, Slamet mendengar informasi bahwa ada 7 orang dari antara pengunjuk rasa itu melakukan “pertemuan” pada malam hari di daerah Kebayoran.
Slamet pun mendatangi mereka. Kemudian Slamet meminta mereka datang ke kantor Deninteldam Jaya di Jalan Lapangan Banteng untuk dimintai keterangan.
Mereka kemudian diperiksa dan diwawancara. Dari cerita-cerita dengan segala alasan dan argumentasi yang mereka ungkapkan, Slamet pun mengetahui, mengapa mereka berbuat demikian.
Keluh-kesah mereka lantas ditampung dan dibuat laporan ke Pangdam Jaya untuk disampaikan kepada Pangkopkamtib sebagai masukan kepada direksi dan manajemen Garuda.
Slamet sempat menasihati mereka untuk tidak berbuat hal-hal yang melanggar hukum.
Capt Subekti, Capt Herman Rante, dan dua pilot lain, kemudian ia ajak untuk menghadap Sudomo atas permintaannya selaku Pangkopkamtib pada 31 Januari 1980.
Sudomo menasihati mereka untuk jangan melakukan pemogokan.
Rupanya nasihat itu tidak ditaati. Mereka mengadakan pertemuan lagi pada 2 Februari 1980 malam di rumah Capt Herman Rante di Pasar Minggu.
Hadir para pilot Garuda, antara lain, Capt Subekti, Capt Ari Singgih, Capt Purwoko, Capt Aristono, Capt Jalma Santoso, Capt T Budiarjo, Capt H Suniar, dan Capt A Andries.
Bahkan hasil pertemuan ini menyepakati untuk melakukan aksi pemogokan!
Informasi tersebut dilaporkan oleh Slamet kepada Pangdam Jaya Norman Sasono selaku Laksusda Jaya, yang kemudian dilaporkan kepada Pangkopkamtib.
Walaupun informasi tentang para pilot yang akan melakukan pemogokan itu diragukan kebenarannya, tapi pihak Garuda tetap melakukan antisipasi dan opsi tindakan. Opsinya itu adalah akan menyewa pilot-pilot asing.
Tak lama setelah tragedi kiriman granat dalam salak itu terjadi, hasil intelijen mengungkapkan, ternyata si pengirim memperoleh granat yang diambilnya dengan tangan memakai sarung tangan secara diam-diam dari gudang Rindam V/Jaya di Condet, Jakarta.
Granat itu adalah granat latihan, tapi bisa melukai bahkan membunuh apabila dipasang detonator. Nah, ia mengambil granat yang diyakininya tidak ada detonatornya.
Dalam perjalanan setelah mengambil granat, ia mampir ke penjual salak di Condet dan membeli 20 buah salak Condet.
Sampai di rumahnya, ia membuat dua paket, yang masing-masing berisi satu granat dan 10 buah salak untuk menyamarkan keberadaan granat.
Dia memasukkan granat dan salak-salak itu menggunakan sarung tangan. Sarung tangan tetap dipakainya, ketika malam hari ia membungkus dua paket itu dengan rapi dan mencantumkan alamat.
Keesokan harinya, ia bersiap untuk mengirimkan paket-paket tersebut. Dengan memakai rambut palsu (wig) dan baju seragam mirip karyawan Garuda, ia berangkat seorang diri ke tempat pengiriman barang Elteha di Bogor.
Pada era itu, pengiriman barang belum menggunakan detektor seperti saat ini.
Paket-paket pun tiba esok harinya di tempat tujuannya: Wiweko dan Lumenta. Gemparlah kantor pusat Garuda!
PENULIS: Reni R. & Remigius S/Majalah Angkasa