TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa kasus, pasien penyakit jiwa, termasuk penderita skizofrenia lebih dipandang akibat mistis seperti kerasukan setan, dan kutukan. Sehingga tak jarang pasien skizofrenia yang mengalami siksaan, diasingkan, bahkan dikurung.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukan penderita gangguan jiwa berat di adalah 0,46 dari total populasi atau sekitar 1.093.150. Dari jumlah itu, hanya 3,5 persen atau 38.260 yang baru terlayani medis.
Seperti di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Rumah Sakit Umum (RSU), maupun Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM).
Kenyataan itulah yang mendorong Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), komunitas peduli skizofrenia Indonesia (KPSI), dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia, meluncurkan sebuah kampanye bersama “Lighting the hope for schizophrenia”.
“Sebaiknya kita tidak memandang sebelah mata tentang permasalahan kesehatan jiwa karena termasuk penyakit jangka panjang yang mengurangi produktivitas bangsa dan menimbulkan beban cukup besar bagi negara,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan Kependudukandan Keluarga Berencana Dr Emil Agustiono MKes saat peluncuran kampanye “Lighting The Hope for Schizophrenia” di Hotel Puri Denpasar, belum lama ini.
Di kesempatan yang sama Dr Tun Bastaman SpKJ mengatakan, skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mengakibatkan penderitanya memiliki ketidakmampuan menilai realitas. Hal ini disebabkan gangguan keseimbangan neurokimia di otak yang menganggu fungsinya secara keseluruhan.
Namun stigma negatif yang masih melekat di masyarakat, menyebabkan penyangkalan keluarga terhadap anggota keluarganya yang memiliki gejala-gejala skizofrenia.
“Dari hasil wawancara didapati pasien baru berkonsultasi medis setelah dua tahun gejala muncul. Langkah tersering yang dilakukan adalah pengobatan dengan pendekatan agama dan adat istiadat. Sehingga pengobatan yang dilakukan secara medis sedikit terlambat untuk dapat pasien kembali ke kondisi normal dan produktif,” ujar dokter Bastaman.
Padahal pasien akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk kembali pulih dan berfungsi seperti semula apabila pengobatan dan terapi dilakukan lebih dini. Selain lebih dini, terapi yang dilakukan juga membutuhkan jangka panjang. Sehingga baik pasien ataupun keluarganya dibutuhkan kesabaran untuk mendapatkan kesembuhan.
Seperti halnya penyakit kronis lainnya yang juga kerap membutuhkan pengobatan jangka panjang. “Apabila skizofrenia tidak diterapi dengan baik, akan mengakibatkan kekambuhan semakin sering,” ujarnya.
Terapi yang digunakan merupakan kombinasi antara pengobatan dan psikoterapi (dikenal sebagai terapi bicara). Pengobatan diperlukan untuk menurunkan gejala skizofrenia. Sementara psikoterapi digunakan untuk membantu pasien untuk memahami menerima dan menjalani penyakitnya. Sehingga kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
Kepatuhan dalam berobat sangat penting untuk menghindari kekambuhan. Pasalnya lalai pengobatan satu hari saja dalam setahun akan meningkatkan risiko kekambuhan yang bisa menyebabkan pasien dirawat di RS.
Sayangnya data menunjukan tiga dari empat pasien lalai minum obat. (Warta kota/lis)