TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA - Prevalensi alergi terus meningkat di dunia dan semakin menjadi beban baik dari segi kesehatan, kualitas hidup keluarga sampai segi ekonomi. “Perjalanan alergi berlangsung alami namun dari waktu ke waktu menunjukkan manifestasi yang menguat terhadap manusia.
“Riwayat alergi sering kali dimulai dengan dermatitis atopik yang diawali dengan munculnya ruam merah,”
Hal ini diutarakan Nutrition Advisory Board Nestlé Nutrition Institute Michelle Maria Pietzak, M.D
saat peluncuran Allergy Risk Tracker yang diselenggarakan Nestlé Nutrition Institute (NNI) sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan dan edukasi bekerjasama dengan Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Aplikasi Allergy Risk Tracker merupakan sebuah alat pendeteksi alergi sederhana yang dapat digunakan untuk mengetahui risiko alergi pada seseorang dan cara menguranginya. Aplikasi ART ini memberikan informasi tentang gejala umum alergi, seperti kulit gatal-gatal, ruam kulit, bersin, sesak napas, mata gatal dan berair. Aplikasi ini juga membantu mengidentifikasi peringkat risiko alergi seseorang—apakah rendah, sedang atau tinggi - sertacara untuk mengurangi risikonya. Aplikasi ART dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum, dan dapat diakses melalui aplikasi www.sadaralergi.com.
“Meningkatnya prevalensi alergi di dunia mendorong Indonesia ikut melakukan studi yang mempelajari korelasi pengobatan alergi terhadap kondisi finansial,” kata DR. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) , peneliti Health Economics dari Unit Kesatuan Kerja Alergi-Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Alergi-Imunologi IDAI).
Menurut Dr. dr. Astrid Widajati Sulistomo, MPH, SpOk. Dari Departemen IKK FKUI, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk kesehatan terus meningkat di dunia, termasuk di Indonesia. Secara khusus, NNI mempelajari studi yang telah dilakukan dinegara - negara lain dan terbukti adanya korelasi pencegahan alergi terhadap kondisi finansial dari skala kecil yaitu keluarga, hingga skala besar yaitu negara.
Studi Health Economics di Indonesia diprakarsai oleh NNI bersama dr. Astrid dari Departemen IKK FKUI dan dr.Zakiudin dari UKK Alergi - Inumologi IDAI. Studi ini membandingkan biaya pengobatan termasuk biaya medis yang berhubungan dengan alergi seperti biaya konsultasi, obat-obatan dan laboratorium yang akan dikeluarkan, dengan biaya yang dikeluarkan apabila pencegahan penyakit alergi dapat dilakukan. “Studi menunjukkan bahwa biaya pencegahan dini akan mengurangi biaya kesehatan dimasa yang akan datang,” kata dr.Astrid.
Hasil studi tersebut yang nantinya akan terangkum dalam Health Economics Journal 2014 ini akan diumumkan pada Agustus 2014.
Studi yang dilakukan NNI di Swiss yang memiliki populasi 7 juta jiwa, menunjukan bahwa upaya pencegahan alergi mampu mengurangi beban ekonomi negara hingga CHF 2.016.660, atau setara dengan 26 milyar rupiah pertahunnya. Studi serupa juga telah dilakukan di negara - negara lain seperti Belanda, Denmark, Perancis, dan Spanyol. Salah satu negara Asia yang telah melakukan studi serupa adalah Thailand. Dengan dasar itu, saat ini Indonesia juga sedang melakukan penelitian serupa untuk melihat pengaruh pencegahan alergi terhadap beban ekonomi.
Pada kesempatan yang sama dr.Zakiudin menambahkan, “Studi mengenai perjalanan alamiah alergi atau dalam istiah kedokteran disebut “Allergy March” menunjukkan bahwa 4 dari 10 anak yang mengalami alergi (dermatitis atopik), akan mengalami asma dan atau rinitis alergi di kemudian hari. Selainitu, sebanyak 30% dari kasus dermatitisatopik pada bayi disebabkan oleh alergi susu sapi. Dengan demikian pencegahan primer harus dilakukan sedini mungkin.”
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan makanan terbaik bagi anak dari usia 0-6 bulan karena ASI mengandung nutrisi lengkap yang dibutuhkan anak. Namun, bila ASI tidak dapat diberikan atas indikasi medis, penggunaan formula 100% whey terhidrolisis parsial dapat membantu menurunkan risiko dermatitis atopik. Menurut penelitian klinis, Studi GINI (German Infant Nutritional Intervention) tahun 2011yang sudah ditindaklanjuti selama 10 tahun membuktikan bahwa formula 100% whey terhidrolisisparsial dapat membantu menurunkan risiko alergi dibandingkan dengan formula susu sapi standar.