TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hak paten menjadi hambatan pasien memperoleh obat dengan harga murah.
Ini terjadi saat hak monopoli ini digunakan pabrik obat guna mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperdulikan nasib rakyat di sebuah negara yang membutuhkan obat-obatan berharga murah.
"Pabrikan obat paten selalu menjual barang produksinya dengan harga setinggi langit dengan alasan keuntungan ini diperlukan guna menstimulus penemuan baru," kata Aditya Wardhana, Juru Bicara Koalisi Obat Murah (KOM) di Jakarta, Rabu (18/3/2015).
Ia menyebut riset di Canada menunjukan bahwa dari sekian banyak obat baru yang didaftarkan patennya, hanya sekitar 5 persen yang benar-benar obat baru.
"Sisanya adalah obat yang kompoisisinya dirubah sedikit lalu dipatenkan ulang sehingga perusahaan pabrikan obat mendapatkan perpanjangan masa monopolinya," katanya.
Contoh kasus terbaru ada di obat Hepatits C dengan nama Sofosbufir yang patennya dimiliki oleh perusahaan obat Gilead dan dipasarkan dengan merk dagang Sovaldi.
Perusahaan ini, berdalih dengan adanya hak paten, menjual obat kepada pasiennya dengan harga 1000 dolar per butir sehingga total yang dibutuhkan pasien untuk terapi sampai sembuh dari Hepatitis C mencapai US$ 84.000.
Sementara sebuah produsen obat generik di Nepal baru saja memasarkan obat yang sama dalam versi generik dengan harga hanya sekitar 9 dollar per botol dan total kebutuhan untuk terapi sampai sembuh hanya sekitar US$ 1000.
Dari kasus obat yang dipasarkan Gilead ini, tercatat bahwa sebenarnya obat Sofosbufir yang dipatenkan oleh Gilead sebenarnya bukan termasuk kategori obat baru.
Ini terbukti dengan diterimanya keberatan dari kelompok pasien di India akan pendaftaran obat ini oleh Gilead di India.
"Peneliti dari Universitas Liverpool Andrew Hill mengeluarkan hasil penelitiannya biaya pengobatan Hepatitis C dengan obat Sofosbufir hanya sebesar 150 dollar karena ongkos produksi satu butir obat Sofosbufir tidak sampai 1 dollar per butir," katanya.
Koalisi Obat Murah (KOM) meminta pemerintah untuk segera mengambil beberapa langkah pencegahan. Yang pertama adalah dengan memperkuat kriteria temuan yang bisa dipatenkan.
"Jika memang tidak membawa khasiat baru yang lebih dari obat sebelumnya, sebaiknya paten obat ini tidak diberikan," katanya.
Perlu meningkatkan kapasitas dari para pemeriksa paten sehingga mampu mendeteksi trik-trik yang kerap dilakukan oleh pabrikan obat guna mendaftarkan ulang temuannya guna mendapatkan paten.
"Pemerintah harus punya kebijakan untuk pengadaan obat generik yang murah dengan cara mengimpor obat generik yang biasanya tersedia di pasaran," katanya.
Momentum ini sangat tepat dilakukan sekarang karena DPR sudah menetapkan bahwa RUU paten akan menajadi salah satu program legislasi prioritas di tahun 2015.
Amandemen paten demi kebijakan yang lebih berpihak pada penyediaan obat-obatan murah akan membuat kita berdaulat secara kesehatan.
Tidak bisa dipungkiri, ketidak hadiran obat-obatan generik karena terganjal pada adanya Hak Paten juga telah mengebiri kekuatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam memberikan perlidungan menyeluruh kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kehadiran obat generik akan sangat mendukung keberhasilan JKN karena PBJS bisa memasukan obat generik ini sebagai obat yang bisa ditanggung oleh JKN kedalam daftar Formularium Nasional.
KOM meminta pemerintah dan DPR bertindak serius dalam amandemen Undang-Undang Paten yang masuk dalam program legislasi prioritas tahun ini.
KOM juga menghimbau agar segenap jajaran pemerintahan dan DPR jangan sampai tertarik dengan deal-deal yang pastinya akan ditawarkan oleh perusahan pabrikan obat paten guna mempertahankan keistimewaannya memonopoli perdagangan obat di Indonesia.