"Lalu suami saya menelepon RS Harapan Bunda, karena dekat dari rumah untuk menanyakan vaksin varicella," katanya.
Saat itu kata dia, pihak rumah sakit menyebutkan bahwa stok vaksin varicella atau cacar air di rumah sakit sebenarnya habis, tapi ada dokter yang punya vaksin itu secara pribadi.
Saat itulah, kata dia, pihak rumah sakit menawarkan apakah mau dengan vaksin yang dimiliki oleh sang dokter atau tidak, tapi bukan dari rumah sakit. Harga vaksinnya kata Lasminar sesuai tawaran pihak rumah sakit adalah Rp 600 Ribu.
"Kalau mau, katanya, bayarnya nanti langsung ke dokternya dan tidak ke kasir," kata Lasminar.
Karena ingin anak perempuan pertamanya mendapat perlindungan vaksin secara lengkap, Lasminar pun menyetujuinya.
"Besoknya saya sama suami ke RS Harapan Bunda untuk memvaksin anak pertama kami," kata dia.
Menurut Lasminar, anak ditangani oleh dokter anak bernama Dita.
"Jadi ada cerita lucu, setelah anak saya disuntik Vaksin, kami keluar tuh dari ruangan dokter. Terus perawatnya bilang kalau bayarnya langsung kedokter karena vaksin ini punya dokter. Lalu dibawalah kami ke ruangan lain yang kosong," kata Lasminar.
Di ruangan kosong itu sang suster menanyakan apakah ia mau pakai pakai kwitansi pembayaran atau tidak.
"Saya bilang gak usah sus. Terus, saya tanya berapa harga vaksinnya. Dia bilang Rp 650 Ribu. Padahal sehari sebelumnya suami saya sudah nanya by phone, kalau harga vaksinnya Rp 600 Ribu. Jadi ada selisih Rp 50 Ribu. Karena harus cash, suami saya ambil duit dulu ke ATM," kata Lasminar.
Tak lama, kata Lasminar suaminya kembali dari ATM. Ia pun mengatakan ke suaminya harga vaksin Rp 650 Ribu dari keterangan sang suster.
"Saya bilang ke suami, gak usah pake kwitansi ya. Tapi suami saya bilang pakai saja kwitansinya," kata Lasminar.
Saat itu sang suster agak bingung, karena harus memberikan kwitansi kepadanya. Sementara uang Rp 650 Ribu sudah dipegang sang suster.
Suster itu pun kembali ke ruang dokter untuk membuat kwitansi. "Saya diminta menunggu untuk dapat kwitansinya," kata Lasminar.