TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peredaran obat ilegal merupakan masalah yang tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah menjadi masalah global yang hingga kini masih memerlukan langkah pemberantasan yang tepat untuk menuntaskannya.
Upaya penanggulangan peredaran obat ilegal tidak mungkin dapat dilakukan oleh hanya satu pihak saja.
Mengingat sudah lamanya permasalahan ini terjadi dengan kemungkinan luasnya jaringan pelaku, tentunya dibutuhkan kepedulian semua pihak untuk bersama-sama memerangi peredaran obat ilegal.
Baik dari sektor pemerintah, pelaku usaha, termasuk masyarakat.
Kepala Badan POM, Penny menjelaskan obat ilegal dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu obat tanpa izin edar (TIE) atau obat palsu.
Obat TIE merupakan obat yang tidak memiliki izin edar dari Badan POM.
Kode izin edar Badan POM untuk obat diawali dengan huruf D untuk obat dengan merek dagang atau G untuk obat generik, lalu diikuti dengan huruf kedua, yaitu B untuk obat bebas, T untuk obat bebas terbatas, K untuk obat keras.
Seringkali obat TIE disertai dengan penandaan yang berbeda dengan obat yang telah memiliki izin edar.
Sementara, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tidak berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat menggunakan penandaan yang meniru obat dengan izin edar.
Produk obat yang cenderung dipalsukan biasanya merupakan obat-obatan lifestyle, life-saving, dan obat lain yang banyak dicari oleh masyarakat.
Berdasarkan data pengawasan Badan POM periode 2013-2015, temuan obat palsu didominasi oleh obat golongan disfungsi ereksi, antibiotika, antipiretik-analgetik, antihipertensi, dan Antihistamin.
Jika dilihat dari jenis obat, obat branded dengan harga yang relatif mahal lebih sering dipalsukan dibanding dengan obat jenis generik.
Beberapa obat dengan merek dagang yang ditemui dipalsukan berulang kali, misalnya Blopress, Cialis, Viagra, Ponstan, Bloppres, incidal OD, Diazepam, Anti-Tetanus Serum, dan Nizoral.
Hingga periode Januari - Juni 2016, Badan POM juga telah mengidentifikasi 17 merek obat palsu yang didominasi oleh golongan vaksin, Anti-Tetanus Serum, serta obat disfungsi ereksi.
“Modus pemalsuan obat yang dilakukan pelaku, antara lain mengemas ulang produk obat dengan kemasan dan label produk obat lain yang harganya lebih tinggi, mengubah tanggal kedaluwarsa dengan tanggal kedaluwarsa baru, mengganti kandungan zat aktif dengan zat aktif lain yang efek terapinya berbeda atau mengurangi kadar zat aktif obat sehingga tidak sesuai dengan kandungan produk aslinya”, ujar Penny dalam acara kampanye Aksi Sosial Peduli Obat Legal di area Car Free Day, Bundaran HI, Jakarta Pusat pada Minggu (21/8/2016).
Ia menambahkan dari sisi jalur distribusi, modus pelanggaran penyebab masuknya obat palsu ke jalur distribusi resmi disebabkan ada fasilitas pelayanan kefarmasian yang melakukan pengadaan obat dari sumber tidak resmi atau dari sumber freelance tanpa disertai dokumentasi yang memadai.
Masyarakat sebagai konsumen pengguna produk obat di Indonesia merupakan salah satu kunci utama keberhasilan upaya penanggulangan peredaran obat ilegal.
"Peran aktif masyarakat sangat diharapkan dalam melakukan pengawasan obat ilegal termasuk palsu, minimal dimulai dari pengawasan peredaran obat yang ada di lingkungan sekitarnya," ucapnya.
Melalui kampanye Aksi Sosial Peduli Obat Legal, Badan POM mengajak masyarakat untuk menjadi konsumen yang kritis dalam memilih atau menggunakan obat.
“Masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas. Ingat untuk selalu melakukan Cek KIK (Cek Kemasan, Cek Izin edar, dan Cek Kedaluwarsa). Pastikan juga untuk selalu membeli obat di sarana resmi. Belilah obat keras sesuai dengan resep dan petunjuk dari dokter. Hindari pembelian obat melalui situs penjualan online. Jangan mudah tergiur dengan harga obat yang lebih murah dari harga pasaran”, kata Penny.
Masyarakat yang kritis diharapkan dapat mempercepat upaya memutuskan mata rantai peredaran obat ilegal di Indonesia.
Dengan semakin menurunnya jumlah konsumen yang menggunakannya, maka pelaku juga akan semakin mengurangi aktivitas usahanya dalam mengedarkan produk obat ilegal karena tidak memberikan keuntungan.
"Jangan ragu untuk melaporkan kepada Badan POM jika mencurigai adanya aktivitas peredaran obat ilegal”, paparnya.