Orangtua juga perlu introspeksi, jangan-jangan selama ini kebiasaan di lingkungan si kecil mengajarkannya untuk berteriak saat meminta sesuatu.
Misalnya, ia belajar dari cara orang dewasa di sekitarnya menyuruh si Mbak di rumah, atau ketika kakaknya bermain dengan teman-temannya, atau anggota keluarga lain yang memang bersuara keras di rumah.
Ajari Waktu yang Tepat
Para ahli sepakat bahwa anak yang doyan berteriak belum tentu adalah anak yang ekspresif.
“Mengingat anak berteriak karena berbagai sebab, seperti ingin mendapat perhatian, karena melihat orangtuanya berbicara dengan orang lain atau asyik menonton televisi atau main hp, atau cemburu melihat kebersamaan mama papanya dengan adik atau kakaknya,” ujar Woelan.
Anak yang ekspresif bukan ditunjukkan dengan teriakan, tapi respons yang diberikan atas semua perilaku yang didapat anak.
Misalnya, tertawa ketika merasa senang atau menangis saat merasa sedih. Anak yang tidak ragu menampilkan emosinyalah yang disebut anak ekspresif.
Karena itu, orangtua perlu mengajarkan anak untuk menempatkan teriakannya ke dalam porsi yang tepat.
Anak, misalnya, dapat berteriak ketika mencapai tujuan. Misalnya ketika mengikuti lomba lari dan berhasil menyelesaikan sampai garis finis, maka anak dapat berteriak mengungkapkan kegembiraan.
Atau, anak dapat berteriak ketika terkejut. Misalnya saat sedang berjalan-jalan di kebun dan melihat seekor katak yang tiba-tiba melintas di hadapannya.
Atau ketika bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak dijumpai.
Jika anak sering berteriak, bukan tidak mungkin orang dewasa di sekitarnya justru mengabaikan karena menganggap si anak memang “hobi” berteriak.
Hal ini justru akan menyulitkan ketika si anak berteriak karena bahaya yang membutuhkan pertolongan dengan segera. Jadi, doronglah si kecil berteriak yang benar di saat yang tepat.
Mengajarkan berteriak di situasi tepat penting bagi si batita, sebab berteriak sesungguhnya bukan bentuk komunikasi sehari-hari.
Sebab, berteriak membutuhkan tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan tidak berteriak. Alasanya yang diteriakan hanya beberapa kàta saja, bukan kalimat yang panjang.
“Jadi, berteriak tidak sama dengan berbicara menggunakan kosa kata yang lengkap dengan melibatkan kemampuan berpikir anak,” terang Woelan.