News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wabah Difteri

Perlu Anda Ketahui Apa Itu penyakit Difteri, Gejala dan Pencegahannya

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang murid ketakutan ketika petugas medis memberikan suntikan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) di SDN Bawakaraeng 3, jl Gunung bawakaraeng, Makassar, Sulsel, Rabu (15/10). Kegiatan imunisasi itu merupakan bagian dari program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) guna memberikan perlindungan bagi anak-anak usia sekolah dasar terhadap penyakit campak, difteri dan tetanus. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Penyakit Difteri telah mewabah, Kementerian Kesehatan bahkan menetapkan Kejadian Luar Biasa.

Kepala Dinkes Kota Semarang, dr Widoyono menjelaskan difteri memang itu adalah jenis penyakit menular dan cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.

"Biasanya itu dikarenakan ada sumbatan saluran pernapasan atas atau toksinnya yang bersifat pathogen, yang bisa menimbulkan komplikasi miokarditis, paralisis saraf kranial, perifer, artritis, osteomyelitis, gagal ginjal, gagal napas, hingga gagal sirkulasi,” terangnya.

Untuk penderita itu, tambahnya, biasanya masa inkubasi yakni antara 2 hingga 6 hari.

Gejalanya ditandai berupa seluruh tubuhnya terasa panas-dingin dan mudah lelah.

Saat bernapas, terasa bising atau napas pendek, saat berucap serak, otot lemas, ada pembengkakan kelenjar getah bening (pilek), hingga di bagian tenggorokan sulit menelan makanan.

Baca: Jangan Takut Anak Demam! Segera Berikan Vaksin Agar Terhindar dari Difteri yang Sudah Mewabah

“Pencegahannya yakni melalui vaksin DTaP dan obat biasanya adalah antibiotik serta antibiotic penisilin. Secara umum hal tersebut dilakukan guna menetralkan toksin difteri yang ada di dalam tubuh penderita,” ucap Widoyono.

Terpisah, dalam keterangan tertulis yang disampaikan Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Anggraini Alam, ada dua klasifikasi pada kasus difteri itu yakni kasus probable (tersangka) difteri dan konfirmasi.

Kasus probabe merupakan kasus yang ditandai dan bergejala gangguan saluran napas adanya pseudomembran pada hidung, faring, tonsil atau laring.

Sedangkan kasus konfirmasi apabila terdapat tanda serta gejala gangguan saluran napas atas hasil kultur swab tenggorok dan epidemiologi,” terangnya.

Menurutnya, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu, apabila ditemukan satu kasus difteri klinis, dapat dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan seyogyanya segera diumumkan secara resmi oleh pemerintah setempat.

“Munculnya kasus difteri di sejumlah wilayah menunjukkan masih rendahnya imunitas. Yang penyebabnya bisa diakibatkan karena belum mendapat imunisasi atau imunogenisitas setelah pemberian imunisasi tidak mencapai kadar proteksi,” paparnya.

Untuk itu, lanjutnya, perlu dilakukan imunisasi pada seluruh anak prasekolah yaitu dengan mendapatkan 4 dosis DTP, anak sekolah mendapatkan Td pada saat awal dan akhir sekolah, serta diharapkan pula orang dewasa mendapatkan booster Td tiap 10 tahun.

“IDAI akan membantu untuk bersama-sama mempersiapkan outbreak response immunization (ORI) termasuk pula mempersiapkan akan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang mungkin dapat terjadi dan memengaruhi target cakupan di tiap daerah tersebut,” tutupnya

 

Kasus di Jateng
Dua balita di Jawa Tengah ditemukan positif difteri. Seorang balita di Semarang pada September lalu, dan seorang balita di Karanganyar pada Oktober 2017 lalu. Keduanya telah dirawat di rumah sakit dan sembuh.

"Keduanya sudah pulang dari perawatan di RSU dalam keadaan sembuh, dan sampai saat ini belum ada kasus lagi," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, dr Yulianto Prabowo, Rabu (6/12/2017).

Ia mengungkapkan, awalnya terdapat 11 penderita penyakit sejenis, namun setelah diperiksa ternyata hanya dua orang, selebihnya bukan difteri.

Menurut Yulianto, para penderita difteri itu dikarenakan dahulu mereka tidak diimunisasi, sehingga terjangkit virus penyakit tersebut.

Yulianto juga menyebutkan bahwa untuk di Jawa Barat dan di Jawa Timur, memang terjadi ratusan kasus. Ia menilai, hal itu disebabkan rendahnya cakupan immunisasi di daerah tersebut.

"Daerah lain tinggi-tinggi, Jateng rendah karena cakupan imunisasi kita tinggi, memang sedikit yang tidak mau diimunisasi tapi kebanyakan menerima," ujarnya.

Ia mengimbau pada masyarakat untuk ikut mendukung program imunisasi sehingga anak-anak mendapatkan perlindungan dari serangan virus berbahaya.

"Ini harus didukung semua masyarakat, stakeholder, semua pemangku kepentingan berperan serta untuk penanggulangan penyakit Difteri dengan mendorong semua balita mendapatkan imunisasi, karena penyakit ini akan diberantas dengan cara ini," katanya.

Meski hanya ditemukan dua kasus di Jateng, lanjutnya, Dinkes Jateng telah menindaklanjutinya dengan berupaya meningkatkan dan pemerataan imunisasi rutin. Khususnya imunisasi DPT-HB-Hb minimal 95 persen, setiap Level juga minimalkan 98 persen cakupan imunisasi bisa di kelas 1,2 dan 3.

"Harapan kami kalau bisa 100 persen anak di Jateng diimunisasi. Sebab pemerintah kan menyediakan vaksin imunisasi itu sangat cukup, cuma ada orangtua yang tidak menerima. Harapan kita yang tidak menerima itu makin sedikit kalau bisa nol persen," katanya.
(had/dse)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini