Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran wabah difteri sudah sedemikian meluas secara cepat di Indonesia.
Pemerintah pun telah menyebut wabah tersebut sebagai kejadian Luar Biasa (KLB) karena menyebar di 142 kabupaten/kota di 28 Provinsi.
Jumlah korban meninggal pun kini telah bertambah menjadi 38 orang, sedangkan korban yang dirawat sebanyak 600 pasien.
Dalam rentang waktu dari Januari hingga Desember 2017, kasus KLB difteri di Indonesia terhitung yang terbesar di dunia.
Populasi penduduk di Indonesia yang menderita penyakit difteri disebut memang paling banyak jika dibandingkan negara yang pernah terjangkit wabah yang sama.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 18 Desember 2017, Ketua Pengurus Pusat (PP) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan menyampaikan bahwa data tersebut diperoleh dari dua lembaga kedokteran yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan IDAI yang ada di seluruh daerah di tanah air.
"Data tersebut diperoleh dari anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan dokter Anak Indonesia (IDAI) di berbagai daerah," ujar Aman.
Ia juga meminta agar perkembangan dan penyebaran wabah tersebut terus dilaporkan pada lembaga yang dipimpinnya.
"Kita meminta jika ada kasus difteri, setiap profesi melaporkan ke IDAI, kami sudah hitung, biasanya data kami sama dengan yang dimiliki Kementerian Kesehatan," jelas Aman.
Sementara itu, data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan jumlah kasus difteri di Indonesia naik turun sejak 1980-an.
Jumlah kasus penyakit tersebut meningkat sejak 2007 yakni 187 kasus, kemudian puncaknya terjadi pada 2012 lalu, yakni sebanyak 1.192 kasus.
Setelah tahun 2012, jumlah kasus memang mengalami penurunan, namun angkanya masih tetap berada pada ratusan kasus.
Selain itu, berdasar data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan, kasus difteri yang ditemukan sepanjang 2017 ternyata tidak terbatas pada usia.
Difteri yang mewabah pada tahun ini, lebih sering menyerang anak-anak yang memiliki usia di bawa 12 tahun dibanding usia dewasa.
Saat wabah itu menyerang anak-anak, dampaknya pun bisa lebih fatal.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis menegaskan dalam menangkal bakteri ganas tersebut, perlu dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI).
Oleh karena itu ia meminta seluruh masyarakat terutama para orangtua untuk segera memberikan imunisasi pada anak mereka.
Baca: Sisa Vaksin Difteri Hanya Sampai Akhir 2017, Bagaimana Bisa Mencukupi ORI? Ini Penjelasan Menkes
"ORI adalah upaya pemberian imunisasi tambahan untuk meningkatkan kekebalan komunitas agar masyarakat terutama anak-anak (yang tinggal) di daerah ORI, terhindar dari penyakit difteri yang sangat menular itu," kata Ilham.
Ilham menegaskan untuk memenuhi syarat kekebalan komunitas, pihaknya menargetkan imunisasi dilaksanakan 100 persen.
Namun pelaksanaan yang diharapkan bisa dilaksanakan 100 persen itu masih jauh dari harapan.
Dari waktu dimulainya imunisasi yakn pada 11 Desember lalu, di Jawa Barat pelaksanaan imunisasi belum mencapai 20 persen, sedangkan di DKI Jakarta hanya dilaksanakan di Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Kurang tanggapnya masyarakat dinilai menjadi salah satu penyebabnya, menurut Aman, pelaksanaan ORI difteri seharusnya tidak hanya dibebankan pada Puskesmas saja, namun juga masyarakat yang memiliki anak harus tanggap terhadap penyakit menular tersebut.
Sejumlah Rumah Sakit Daerah Tercatat Merawat Pasien Difteri
Kepala bagian Humas Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang, Sumatra Selatan, Hidayati, menyebut saat ini ada 4 pasien diduga terkena difteri yang dirawat di rumah sakit.
Sementara di Bali, sejauh ini sudah ada 3 warga yang diduga terkena wabah tersebut, ketiganya kini dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali.
Kemudian Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat juga akhirnya menetapkan bahwa KLB difteri telah tejadi di wilayah tersebut.
Lantaran satu orang meninggal dunia, dan lima orang lainnya masih dirawat intensif di RSUD Dr Slamet Garut, terhitung sejak 2 pekan terakhir.
Lalu kasus terbaru terjadi pada Selasa, 26 Desember 2017, seorang mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Aufatul Khuzzah (19) meninggal akibat terserang difteri.
Hal tersebut disampaikan oleh Humas kampus yang terletak di kawasan Ciputat, Tangerang itu.
Aufatul disebut sempat mendapatkan perawatan di RSDP, kota Serang, namun pada akhirnya nyawanya tidak tertolong.
Waspadai Difteri Menyebar Melalui Udara
Penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae itu menyebar melalui udara.
Bakteri tersebut tergolong berbahaya karena bisa menyerang saluran nafas sebelah atas, gejalanya pun meliputi demam tinggi, sakit tenggorokan, susah menelan, serta kesulitan bernafas.
Cara penularannya, anda harus mewaspadai percikan ludah dari batuk si penderita dan benda ataupun makanan yang telah terkontaminasi bakteri, karena saat bakteri itu masuk ke dalam tubuh maka toksin atau racun pun dilepas dan akan menyebar melalui darah.
Jika dibiarkan, maka racun ini akan menyebabkan kerusakan jaringan pada seluruh tubuh, terutama organ vital seperti jantung dan syaraf.
Bahkan dalam beberapa kasus, bakteri ini bisa menyebabkan kematian.
Penyebab Difteri
Meningkatnya penyebaran penyakit menular itu juga disebabkan faktor non-medis, yakni berasal dari kebiasaan masyarakat itu sendiri.
Saat ini masih banyak orangtua yang tidak tanggap dan enggan memberikan imunisasi DPT terhadap anak mereka, hanya karena takut pada efrk yang ditimbulkan, yakni suhu badan anak tersebut akan panas.
Selain itu, padatnya lingkungan tempat tinggal pun juga menjadi salah satu penyebab cepatmya pola penularan difteri.
Kemudian efek 'tidak percaya' terhadap vaksin, lantaran sebelumnya memang telah beredar pemberitaan adanya vaksin palsu beberapa waktu yang lalu.
Hal itu juga menjadi penyebab masyarakat memiliki pandangan yang berbeda, ketidakpercayaan terkait fungsi vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh anak mereka.
Walaupun kasus vaksin palsu sudah ditangani oleh Kementerian Kesehatan RI melalui cara vaksinasi ulang.
Faktor penyebab lainnya adalah rendahnya pendidikan orangtua si anak yang bisa saja mempengaruhi perilaku mereka.
Orangtua yang memiliki pendidikan rendah, cenderung kurang memiliki pengetahuan terkait pola hidup sehat, bersih, dan seberapa pentingnya pemberian imunisasi bagi anak-anak mereka.
Di sekolah pun, para guru juga wajib mewaspadai bakteri ini.
Para siswa juga bisa tertukar difteri di sekolah, hal tersebut karena kurangnya pola hidup sehat dan bersih yang ditanamkan di sekolah.
Kemudian anggapan 'haram' terhadap vaksin juga ternyata dipegang teguh oleh sebagian masyarakat.
Menurut mereka, vaksi bisa saja mengandung bahan yang haram, meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan bahwa vaksin tersebut halal, namun terkadang ada sebagian masyarakat tetap enggan untuk mempercayainya.
Lalu ada pula tipe masyarakat yang menganggap bahwa sistem imun telah ada sejak lahir dalam tubuh tiap individu, sehingga penggunaan vaksin tidak terlalu dibutuhkan.
Baca: Derita Sobari Dikucilkan Warga Setelah Cucunya Meninggal karena Difteri
Peran Serum anti-difteri dan antibiotik
Serum anti-difteri dan antibiotik harus diberikan secara bersamaan untuk mengobati pasien yang terkena difteri.
Keduanya harus diberikan karena serum anti-difteri tidak bisa bekerja sendiri untuk mengeliminasi bakteri penyebab penyakit mematikan itu.
Begitu pula antibiotik yang tidak bisa menggantikan peran serum yang memiliki fungsi untuk menetralisir racun difteri.
Perlu diketahui, serum anti-difteri hanya bisa menetralisir racun dalam tubuh penderita saja.
Sehingga penting bagi masyarakat untuk segera mendapatkan serum anti-difteri dan antibiotik sesaat setelah gejala difteri ditemukan pada tubuh si penderita.
Jangan menunda pemberian serum karena tentu akan meningkatkan resiko kematian bagi penderita.
Oleh karena itu serum sebaiknya diberikan pada penderita tiga hari pertama sejak timbulnya gejala tersebut.
Setelah itu, antibiotik juga harus diberikan agar bakteri tersebut mati dan juga mencegah penyakit itu menular ke manusia lainnya.
Dari Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri tersebut, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi penanganan difteri dengan menggunakan serum anti-difteri dan antibiotik.
Pemerintah harus memastikan tingkat efektivitas serum tersebut bagi masyarakat dan ketersediannya, sehingga KLB Difteri tidak terulang di masa mendatang.