Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengeluhkan masih banyak mengalami kesulitan bagi para pasien cuci darah untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Mulai dari sistem rujukan yang berbelit, aksesibilitas obat-obatan, sampai dengan komplikasi penularan penyakit pada pasien hemodialisis seperti hepatitis C akibat dari layanan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium yang terbatas.
"Sebenarnya sudah ada tatalaksana manajemen anemia pada pasien gagal ginjal, namun tidak berjalan baik karena kebijakan tarif yang ditetapkan Pemerintah terlalu jomplang antar tipe rumah sakit. Pasien yang cuci darah di tipe B, C dan D akhirnya tidak mendapatkan akses obat-obatan salah satunya hormon eritropoietin untuk meningkatkan HB (Hemoglobin) pada pasien", ungkapnya.
"Jadi, pasien yang kekurangan HB harus melakukan transfusi darah. Ini yang rawan penularan penyakit infeksi, salah satunya hepatitis C", lanjutnya
Diakui Tony, CAPD merupakan salah satu pengobatan yang menjadi pilihan para pasien cuci darah. Ia berharap pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dapat mempercepat registrasi produk CAPD lainnya sehingga semakin mudah bagi pasien cuci darah mendapatkan produk CAPD.
“KPCDI sangat mengharapkan dukungan dan komitmen pemerintah untuk memberikan kemudahan pilihan berbagai macam terapi bagi pasien gagal ginjal untuk mendapatkan pelayanan ,” tukasnya.