TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Obesitas atau kegemukan yang kerap menjadi sumber penyakit pun memunculkan upaya si penderitanya untuk menurunkan berat badannya.
Operasi bariatrik dan sedot lemak dipilih penderitanya.
Adalah Naufal Abdillah (23) punya berat badan mencapai 238 kilogram dengan IMT 95,3 salah seorang pasien operasi bariatrik.
Ia mengalami obesitas sejak remaja.
Pada Oktober 2018 lalu berkonsultasi ke dokter spesialis gizi klinik di RS Pondok.
Setelah melalui serangkaian konsultasi, Naufal sepakat melakukan bedah bariatrik untuk mengatasi permasalahan obesitasnya.
Setelah melakukan tindakan pada November 2018 lalu, bobot Naufal berkurang sebanyak 36 kilogram dengan penurunan IMT 80,9.
Baca: Pemerintah Thailand Kirim Polisi yang Gemuk ke Fat Camp untuk Turunkan Berat Badan
Bandingkan dengan lewat diet yang sehat, pengurangannya hanya 1,5 kilogram per bulan.
Lantas apa bedanya operasu bariatrik dengan sedot lemak yang juga kerap dilakukan kebanyakan orang saat ini untuk mengatasi kelebihan berat badan?
Menurutnya, operasi bariatrik bekerja dengan menghilangkan rasa lapar, memodifikasi saluran cerna, memodifikasi profil hormon pasien sehingga lebih efektif, dan mengurangi kalori yang diserap.
“Bedah bariatrik berbeda sama sekali dengan bedah kosmetik (sedot lemak misalnya, Red), bedah bariatrik menangani akar persoalan obesitas, sementara bedah kosmetik bertindak memperbaiki penampilan tanpa menyentuh akar persoalan,” tegas Dokter Spesialis Bedah Konsultan bedah digestif RS Pondok Indah (RSPI) Dr dr Peter Ian Limas Sp KBD
Dokter Peter juga mengatakan ketika seseorang sudah masuk kategori obestitas morbid, dan memiliki IMT yang tinggi, penanganan dengan gizi atau diet, angka keberhasilannya sangat kecil dan membutuhkan waktu yang panjang.
Sementara akibat obesitas tersebut, risiko bertambahnya penyakit semakin tinggi. Sehingga dokter akan menyarankan untuk dilakukan bedah obesitas/bariatrik.
Baca: Operasi Bariatrik Bukan Peluru Emas untuk Turunkan Berat Badan Penderita Obesitas Seperti Titi Wati
“Bedah obesitas bukanlah bedah kosmetik. Bedah ini bertujuan mengobati pasien obesitas dan penyakit penyertanya,” ujar Dokter Peter kepada wartawan dalam talkshow dengan tema ‘Bariatrik, Komitmen Untuk Hidup Sehat Sepanjang Usia’ dari Rumah Sakit Pondok Indah di Hotel Mulia, Kamis (14/3/2019).
Ia mengingatkan, meski mampu menurunkan bobot tubuh dengan cepat, bedah bariatrik bukanlah ‘peluru emas’.
Tindakan ini hanya sebagai pendukung.
Faktor utama keberhasilan bariatrik adalah komitmen dan konsistensi yang kuat dari pasien untuk mengubah gaya hidup mereka seumur hidup.
Setelah operasi, pasien diharuskan mengikuti diet bertahap selama satu bulan.
Dimulai dengan hanya minum air putih atau teh selama dua tiga hari pertama, dan meningkat kekentalannya/konsistensinya hingga pada akhir satu bulan, pasien diharapkan dapat mengonsumsi makanan sehat seperti biasa.
Namun dalam jumlah yang jauh berkurang.
“Pasien tidak merasakan lapar karena pusat lapar dihilangkan atau dibuat tidak aktif. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan pasien lapar, atau tersiksa karena lapar,” ujar Dokter Peter.
“Bagi pasien obesitas morbid yang membutuhkan penurun berat badan secara ekstrim, bedah bariatrik memiliki berbagai kelebihan. Salah satunya dapat menurunkan berat badan dengan lebih cepat dan relatif menetap,” katanya.
Dengan menggunakan minimal invasive laparoscopy, pasien pun akan merasakan nyeri yang lebih minimal, juga risiko komplikasi tindakan yang lebih rendah.
Sehingga masa rawat inap di rumah sakit akan lebih singkat. Dokter akan membuat sayatan berdiamter 5 mm-12 mm.
Berapa Berat Badan yang Hilang dengan Bedah?
Menurut dokter Peter, setelah pembedahan, berat badan yang bisa hilang antara 55-85 persen dari kelebihan badanya.
Misalnya seseorang memiliki berat badan 120 kilogram, ada kelebihan berat 55 kilogram. Idealnya orang tersebut memiliki Berat Badan (BB) 65 kilogram.
Setelah operasi bisa menghilangkan 55-85 persen dari 55 kilogram tersebut dalam kurun waktu 6-12 bulan.
Titi Wati Bosan Menu Sehat, Saat Jalani Diet Curi-curi Makan Ikan Asin
Titi Wati, penderita obesitas dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah mengaku bosan menjalani diet ketat paskaoperasi bariatrik.
Awal tahun lalu, sempat viral di media sosial, Titi Wati (37), asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Ibu satu anak ini memiliki bobot hingga 220 kilogram. Ia hanya bisa memiringkan sedikit badannya saja.
Bahkan untuk makan, apalagi mandi harus dibantu. Sehari-hari hanya bisa tiduran saja.
Kadar gula darahnya juga tinggi, dan sudah masuk menderita diabetes mellitus, yakni 400 mg/dl. Padahal normalnya kadar gula darah 140 mg/dl.
Titi Wati merupakan salah satu contoh obesitas morbid, yakni berat badan berlebih dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) lebih dari 37,5.
Titi Wati pun sudah menjalani operasi bariatrik atau bedah/pemotongan lambung untuk menurunkan berat badannya.
Tak hanya sampai operasi, upaya Titi Wati menurunkan bobot tubuhnya berlanjut. Ia harus menjalani diet ketat dengan pengawasan tim medis RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya pun harus dijalani Titi Wati.
Titi Wati yang sangat hobi mengonsumsi gorengan dan es harus melupakan kudapan favoritnya.
Selama di rumah Titi Wati hanya diberikan tahu dan telur .
Menunya kemudian diganti dengan bubur dan buah.
Baca: Bawa Beras, Ikan Asin dan Sambel saat ke Turki, Ayu Ting Ting Ternyata Pakai Baju Harga Fantastis
Herlina, anaknya mengatakan, selama tiga minggu ini dia memberikan makan untuk ibunya sesuai dengan yang ditentukan oleh dokter.
Pada minggu pertama hanya diberikan tahu dan telur tiga kali sehari semalam, kemudian dalam dua minggu ini diberikan bubur dan buah semangka, serta pepaya.
"Mamah itu makan hanya tiga kali sehari, itupun sering kenyang sehingga makanan yang diberikan sering tidak dihabiskan, karena setelah operasi pengecilan lambung makanan susah masuknya, perutnya kenyang duluan," ujarnya.
Titi mengatakan, dia memang kadang bosan memakan makanan yang dianjurkan dokter.
Lebih dari sebulan menjalani diet tersebu, rasa bosan melanda Titi Wati.
Titi Wati pun terkadang curi-curi, memakan makanan lainnya di luar menu yang dianjurkan tim medis.
Kerupuk dan ikan asin yang merupakan makanan kesukaanya sebelum operasi dilakukan, kembali dimakan oleh Titi Wati.
Pihak Dokter RS Doris Sylvanus Palangkaraya, terus berupaya menurunkan berat badan Titi Wati meski pencapaian penurunan berat badannya belum signifikan, namun pihak dokter terus berupaya membantu titi dalam menurunkan berat badannya.
"Kami terus berupaya membantu, dengan menu yang kami sarankan, tetapi memang titi, ternyata terkadang bosen dengan menu yang ada dan makan krupuk serta ikan asin yang tidak dianjurkan, sehingga kami nasehati dia agar tidak lagi makan-makanan tersebut," ujar dokter Thedorus Sapta Atmadja, Wadir RS Doris Sylvanus Palanngkaraya.
Adakah Manfaat Ikan bagi Kesehatan?
Ikan asin memang kerapkali dijadikan pembangkit selera makan.
Makanan ini sudah sejak lama menjadi kegemaran masyarakat Indonesia, baik itu dicampur nasi uduk, nasi goreng, dan nasi putih.
Namun, di balik rasanya yang gurih dan lezat, adakah manfaat mengonsumsi ikan asin bagi kesehatan?
Ikan asin dapat dibuat dari aneka jenis ikan, seperti gabus, peda, dan tenggiri.
Proses pengawetannya pun dibuat dengan menggunakan garam dalam jumlah yang banyak sehingga dapat disimpan di suhu ruangan selama berbulan-bulan.
Kandungan gizi pada ikan
Ikan mengandung banyak nutrisi bergizi tinggi, seperti protein, vitamin, mineral dan asam lemak omega 3, tergantung jenisnya. Ikan yang berlemak (seperti salmon, tuna, sarden atau mackerel) mengandung asam lemak omega 3 yang lebih tinggi. Asam lemak omega 3 ini diperlukan untuk tubuh dan otak dapat berfungsi dengan baik.
Untuk itu, guna memenuhi kebutuhan omega 3 Anda, dianjurkan untuk makan ikan berlemak paling tidak 1-2 kali per minggu. Bahkan menurut studi yang dipublikasikan American Journal of Clinical Nutrition, makan 1 porsi ikan minimal 1 kali per minggu dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung hingga 15 persen.
Namun kandungan gizi ikan juga dapat berpengaruh dari cara pengolahan maupun penyajiannya.
Seperti penelitian yang dilansir oleh American Heart Association, melaporkan bahwa agar kandungan asam lemak omega 3 (yang baik untuk jantung) tetap optimal bisa diperoleh jika ikan tersebut dimasak dengan cara direbus ataupun dikukus dibandingkan dengan cara digoreng, dikeringkan, maupun diawetkan.
Dilansir Klikdokter, proses pengolahan dengan cara digarami dan dikeringkan seperti pada ikan asin akan mengurangi gizi dan nutrisi yang terkandung dalam ikan secara drastis.
Ikan asin bisa tingkatkan risiko penyakit
Selain itu, satu penelitian yang dipublikasikan American Journal of Clinical Nutrition menyebutkan, ikan asin (dan makanan lain yang diasinkan) tinggi kadar sodium.
Hal ini justru dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Penelitian ini dilakukan di Jepang pada 80.000 pria dan wanita yang mengonsumsi makanan yang diasinkan (termasuk ikan asin).
Hasilnya, responden yang banyak mengonsumsi makanan yang diasinkan (tinggi sodium) dapat mengalami peningkatan risiko penyakit jantung hingga 20 persen.
Garam memang dibutuhkan untuk tubuh agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Namun, konsumsi garam yang berlebihan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Untuk itu, organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO), menganjurkan untuk tidak mengonsumsi garam melebihi 5 gr setiap harinya.
Namun pada ikan asin, proses pengawetan menggunakan garam di atas ketentuan. Meski jumlah garam yang dibutuhkan berbeda-beda (tergantung cara pengawetannya), untuk ikan asin yang diolah dalam kemasan, biasanya membutuhkan sekitar 30 kg garam per 100 kg ikan.
Selain penyakit jantung, penelitian tersebut juga menyebutkan adanya peningkatan risiko kanker pada responden yang banyak mengonsumsi ikan asin dan makanan yang diasinkan lainnya.
Hal ini diduga karena adanya kandungan bahan karsinogen (pencetus kanker), N-nitroso yang terkandung dalam ikan asin dan makanan yang diasinkan lainnya. Bahan karsinogen ini terbentuk dari pengawet nitrat atau nitrit.
Anda penggemar ikan asin? Sebaiknya mulai sekarang kurangi dan batasi konsumsi ikan asin jika tak ingin risiko berbagai penyakit termasuk risiko tekanan darah tinggi dan sakit jantung meningkat.
Sebaiknya, konsumsilah ikan dengan cara dikukus dan direbus jika ingin merasakan manfaatnya untuk kesehatan.
Ditimbang, Berat Badan Titi Wati Berkurang
Titi Wati, penderita obesitas terus berupaya menurunkan bobot tubuhnya yang sempat mencapai 220 kilogram.
Warga Jalan George Obos XXV Kelurahan Menteng Kecamatan Jekanraya, Kota Palangkaraya, Jumat (15/3/2019) sudah menjalani operasi bariatrik atau pengecelan lambung di RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Apakah sudah ada hasilnya?
Badannya sedikit menurun hingga mencapai 207 kilogram dua bulan paskaoperasi bariatrik.
Ini diketahui setelah Titi Wati menjalani penimbangan berat badannya, belum lama ini.
Turunnya berat badan Titi Wati tak lepas dari usahanya.
Selain diet ketat mengikuti menu yang sudah ditetapkan ahli gizi dari RSUD Doris Sylvanus Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Titi juga diminta banyak olahraga atau bergerak.
"Setiap hari saya disuruh ngangkat barbel yang ukuran satu sampai dua kilogram, agar bisa cepat turun berat badannya," ucapnya.
(banjarmasinpost.co.id/faturahman/klikdokter/(Wartakota/Lilis Setyaningsih)