Kalori yang ditambahkan pada makanan olahan berkontribusi pada kenaikan satu kilogram badan selama dua minggu.
Di sisi lain, orang-orang yang mengonsumsi makanan utuh justru mengalami penurunan berat badan sekitar satu kilogram selama dua minggu.
Selain itu, massa lemak tubuh meningkat hampir 0,5 kilogram ketika peserta mengonsumsi makanan yang telah mengalami pemrosesan.
Tanpa memperhitungkan faktor rasa, peneliti menemukan beberapa faktor yang membuat peserta lebih memilih makanan olahan.
Peneliti juga berspekulasi orang lebih mudah mengonsumsi makanan olahan bukan karena kandungan kalori di dalamnya.
Mereka menemukan perbedaan dalam asupan kalori tidak terkait dengan perbedaan selera makan, rasa makanan atau pola diet.
"Ada kemungkinan makanan olahan lebih mudah dikunyah dan ditelan, lebih lembut, dan ini bisa menunda sinyal kenyang," kata Kevin Hall, selaku pemimpin riset.
Namun, Hall menegaskan masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan apakah konsistensi dan kepadatan makanan, seberapa mudah mereka dimakan, merupakan pendorong penting dari total jumlah makanan yang dikonsumsi.
Harga makanan olahan yang disediakan dalam penelitian ini secara signifikan lebih rendah daripada makanan utuh.
Bisa jadi masalah biaya juga membuat orang lebih memilih makanan olahan daripada memasak sendiri.
Dalam studi ini, peserta memang tak perlu repot menyiapkan makanan yang dikonsumsinya.
Namun, dalam dunia nyata mereka harus meluangkan waktu untuk menyiapkannya sendiri.
Alasan efisiensi waktu ini juga bisa membuat banyak orang lebih tertarik untuk mengonsumsi makanan olahan.
Harga makanan olahan mungkin terbilang lebih murah, namun risiko kesehatan yang ditimbulkannya akan membuat kita membayar lebih mahal di kemudian hari.