TRIBUNNEWS.COM - Makanan olahan telah lama dikaitkan dengan obesitas. Meski demikian, masih banyak orang yang menyukai makanan olahan.
Mengapa begitu?
Riset yang diterbitkan dalam jurnal Cell Metabolism telah menemukan jawabannya.
Dalam riset tersebut, peneliti melakukan studi acak untuk menilai kaitan asupan kalori dan pertambahan berat badan pada orang-orang yang mengonsumsi makanan olahan atau makanan utuh.
Baca: Percuma Ingin Bakar Lemak di Perut Jika Hanya Andalkan Diet dan Sit Up
Riset dilakukan dengan membagi peserta yang terdiri dari 20 orang menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah mereka yang mengonsumsi makanan dan camilan non-olahan sebanyak tiga kali sehari selama dua minggu.
Baca: Air Kencing Berbusa, Bisa Jadi Anda Punya Masalah Kesehatan
Kelompok kedua adalah mereka yang mengonsumsi makanan olahan dalam waktu yang sama.
Contoh makanan olahan yang dikonsumsi peserta dalam riset ini adalah sereal, susu dengan serat tambahan, muffin bluberry kemasan dan margarin.
Sementara makanan non-olahan yang diberikan kepada peserta adalah yogurt yunani dengan stroberi, pisang, kenari, garam, minyak zaitun, dan irisan apel dengan lemon yang diperas.
Setelah dua minggu masa riset, peserta beralih menerapkan pola makan yang berlawanan selama dua minggu.
Baca: 7 Bahan Alami Bantu Perokok Hentikan Kebiasaan Buruknya
Para peneliti memastikan kalori dan nutrisi seperti karbohidrat, lemak, gula, garam seimbang di setiap makanan antara kelompok pertama dan kedua.
Mereka menginstruksikan peserta untuk makan sesedikit atau sebanyak mungkin pada setiap waktu makan yang mereka inginkan.
Pada akhir penelitian, ternyata peserta makan lebih banyak secara signifikan jika makanan mereka mengalami pemrosesan, sekitar 500 kalori lebih per hari daripada saat mereka mengonsumsi makanan utuh.
Faktanya, makanan olahan juga mengandung 54 kali gula tambahan dan 1,8 kali lemak jenuh.