TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skoliosis adalah kelainan pada rangka tubuh yang berupa abnormalitas bentuk tulang belakang di mana tulang belakang melengkung seperti huruf C atau S.
Badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mencatat setidaknya 3% warga di dunia rentan terkena penyakit skoliosis dan di Indonesia setidaknya 3%-5%.
Kelainan ini biasa ditemukan pada anak-anak sebelum masa pubertas, yaitu pada usia 10-15 tahun.
Jika dibiarkan, skoliosis dapat semakin parah sehingga dapat menghambat aktivitas sehari- hari, bahkan dapat menyebabkan penderitanya mengalami gangguan jantung, paru-paru, atau kelemahan pada tungkai.
“Skoliosis di atas 70 derajat dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru, sedangkan di atas 100 derajat dapat mengganggu fungsi jantung,” terang dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang Siloam Hospitals Kebon Jeruk dr. Phedy, Sp.OT-K saat temu media di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Dikatakannya, sebagian besar kasus skoliosis tidak ditemukan penyebabnya (idiopatik).
Namun beberapa kondisi juga dapat memicu terjadinya skoliosis antara lain cedera tulang belakang, infeksi tulang belakang, bantalan dan sendi tulang belakang yang mulai aus akibat usia (skoliosis degeneratif), bawaan lahir (skoliosis kongenital), serta gangguan saraf dan otot (skoliosis neuromuskular), misalnya penyakit distrofi otot atau cerebral palsy.
Baca: Soal Korupsi di Kemenag, Saksi Ahmadi: Eks Menag Lukman Hakim Intervensi Minta Loloskan Jabatan
Skoliosis dapat semakin parah jika dibiarkan atau ditangani dengan cara yang tidak tepat. Akan tetapi, tidak semua penanganan skoliosis harus dengan cara operasi.
“Tidak selalu operasi. Penanganan skoliosis sebenarnya 3O, yaitu: observasi, ortosis atau brace, dan operasi. Observasi dilakukan untuk sudut di bawah 30 derajat. Selain itu, pasien juga dianjurkan melakukan latihan dengan stretching untuk memperbaiki imbalance otot. Untuk pasien dengan sudut 30-40 derajat dan masih dalam usia pertumbuhan biasanya akan diberikan brace,” kata dr Phedy, Sp.OT-K.
Operasi akan dibutuhkan untuk skoliosis dengan sudut di atas 40 derajat.
Hal ini karena kondisi tersebut akan menghambat aktivitas dan pada tingkat tertentu bisa menimbulkan ancaman bagi organ tubuh lainnya seperti jantung dan paru-paru.
"Melihat risiko yang cukup berat, deteksi dini skoliosis harus dilakukan sejak dini disertai pengobatan dan pemantauan yang tepat," katanya.
Dikatakanya, dalam banyak kasus yang datang pada stadium lanjut.
Padahal, deteksi dini skoliosis sangat mudah, dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tidak membutuhkan alat khusus.
Baca: Kastil Shuri, situs warisan dunia di Jepang berusia 500 tahun, hancur dilalap api
"Deteksi dini dianjurkan untuk dilakukan pada anak perempuan usia 11 dan 13 tahun dan anak laki-laki usia 13 sampai 14 tahun,” tambah dr. Phedy, Sp.OT-K.
Lambatnya penanganan karena si anak menyembunyikannya dari orangtua.
"Paling banyak, si anak menyembunyikan penyakit itu dari orangtuanya. Misalnya, si anak tidak pernah mau telanjang dada saat di rumah," katanya.
Phendy mencontohkan, salah seorang pasiennya diketahui oleh tukang jahit saat mengukur baju seragam.
"Jadi orangtuanya baru tahu setelah itu," katanya.
Lantas apa tanda – tanda kemungkinan seorang anak menderita skoliosis?
Pertama, bahu tidak sama tinggi, ada tonjolan punggung tidak sama tinggi, lipat pinggang tidak sama tinggi, panggul tidak sama tinggi, jarak siku ke tubuh tidak sama dan tonjolan punggung atas atau bawah tidak sama tinggi saat membungkuk ke depan.
Bila ditemukan salah satu tanda di bawah ini, maka kemungkinan seorang anak menderita skoliosis.
"Bila ditemukan tiga atau lebih tanda di atas maka segeralah berobat ke dokter orthopedi khusus tulang belakang," kata Phendy.
Penanganan skoliosis kini tersedia di Sports, Shoulder, & Spine Clinic Siloam Hospitals Kebon Jeruk, klinik khusus yang memiliki fokus untuk penanganan otot dan tulang yang berhubungan dengan cedera olah raga, kaki, pergelangan kaki, bahu, dan tulang belakang.
Penanganan cedera pada area tersebut di antaranya cedera ligamen, cedera bantalan sendi lutut, dislokasi sendi, maupun patah tulang dapat dilakukan melalui pemberian obat, fisioterapi, radiofrekuensi (prosedur untuk mengurangi nyeri dengan gelombang radio) hingga tindakan operasi kompleks.
Tim dokter spesialis dan penunjang medis dari Sports, Shoulder, & Spine Clinic berkomitmen untuk membantu pasien kembali melakukan aktivitas yang mereka cintai.