TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik tentang susu kental manis (SKM) masih berlanjut di Indonesia. Kegiatan edukasi gizi dan informasi pemakaian produk dari berbagai pihak dinilai sangat perlu agar tidak terjadi salah kaprah tentang penggunaan SKM.
Studi terbaru yang dilakukan PP (Pimpinan Pusat) Aisyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (YAICI) menyatakan, susu kental manis mengakibatkan gizi buruk pada anak di beberapa daerah seperti Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara.
Penelitian ini menyebutkan, dari 1.835 anak usia 0-5 tahun yang terdata, 12% mengalami gizi buruk, dan 23,7% gizi kurang.
Hasil tersebut didapat dengan rincian 14,5% anak dengan status gizi buruk mengonsumsi SKM/KKM lebih dari 1 kali dalam sehari.
Sedangkan 29,1% anak dengan status gizi kurang mengonsumsi SKM/KKM lebih dari 1 kali dalam sehari. Menariknya, jika data ini benar berarti ada sejumlah 79.0% anak gizi buruk yang tidak konsumsi SKM.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Tetty Helfery Sihombing mengatakan, susu kental manis (SKM) adalah produk yang mengandung susu.
Ada juga krimer kental manis (KKM) yang juga termasuk produk turunan susu tapi kandungan susunya lebih kecil dari pada di SKM.
"Karakteristik dasar dari susu kental manis adalah memiliki kadar lemak susu tidak kurang dari 8% dan kadar protein tidak kurang dari 6,5% (untuk plain),” ujar Tetty.
Penerbitan Perka BPOM Nomor 31/2018 yang diundangkan tanggal 19 Oktober 2018 dengan sendirinya menggugurkan Surat Edaran Nomor HK.06.5.51.511.05.18.2000 tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada Produk Susu Kental dan Analognya yang dikeluarkan pada 22 Mei 2018.
Edaran tersebut mencantumkan berbagai ketentuan mengenai label dan iklan susu kental manis. Setelah Perka BPOM terbit maka surat edaran tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Baca: BPOM Gandeng 6 Anggota Asosiasi e-Commerce Indonesia Berantas Peredaran Obat Ilegal
Perka BPOM 31/2018 juga semakin memantapkan posisi SKM sebagai salah satu produk susu.
Khusus label SKM disebutkan bahwa produsen wajib mencantumkan keterangan bahwa “SKM tidak untuk menggantikan air susu ibu (ASI), tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, serta tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.
Baca: BPOM Bakal Permudah Akselerasi Perizinan Terkait Makanan dan Obat
Ir. Achmad Syafiq MSc. PhD, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia berpendapat, susu kental manis adalah produk yang mengandung susu.
Ada juga krimer kental manis (KKM) yang juga mengandung susu walaupun tidak sebanyak susu kental manis.
Dia menyatakan, jika SKM dianggap sebagai penyebab gizi buruk, hal ini bertolak belakang dengan pengertian faktor risiko dan penyebab secara statistik karena lebih banyak yang tidak konsumsi SKM.
Syafiq juga menyatakan, kandungan gula dalam susu kental manis tidak perlu ditakuti karena gula dalam susu kental manis dibutuhkan untuk mencegah kerusakan produk.
Dia menyatakan, susu kental manis tidak boleh menggunakan bahan pengawet. Jadi produk harus dipasteurisasi dan dikemas secara kedap (hermetis). Dalam proses pembuatannya, air dari susu diuapkan ditambahkan gula yang juga berfungsi sebagai pengawet. Sehingga gula memang dibutuhkan dalam produk susu kental manis.
Syafiq menambahkan, semua jenis makanan saling melengkapi. Tidak ada makanan atau minuman tunggal yang mampu memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Jadi konsumsi produk pangan memang tidak boleh berlebihan dan harus sesuai dengan peruntukannya.
“Dalam kondisi masalah gizi ganda di Indonesia, dimana sebagian anak mengalami kelebihan gizi tetapi sebagian lainnya kekurangan gizi maka pemberian informasi harus tepat, akurat dan jelas targetnya," kata dia.
Daya beli rendah
Riset YAICI juga menyebutkan, sebanyak 68 persen responden bisa membaca label pangan dan 67% membaca peruntukan SKM/KKM. Dan sejumlah 23% responden tetap memberikan produk pada bayi/anak meskipun telah mendapatkan informasi bahwa SKM tidak diperuntukkan bagi bayi dan balita.
Hal ini tentu menarik karena responden telah teredukasi dengan baik untuk membaca label dan keterangan pangan, tetapi tetap memilih untuk membeli SKM/KKM.
“Banyak faktor kenapa ibu-ibu di daerah masih memberikan SKM ke anaknya. Salah satunya karena kemiskinan yang membuat daya beli lemah. SKM kan relatif terjangkau. Faktor kedua, karena malas menyusui. Ketiga, karena memilih bekerja. Keempat karena faktor pendidikan,” ujar Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU dr. Erna Yulia Soefihara.
Erna menambahkan, sepanjang 2019 sebanyak 2.600 kader PP Muslimat NU dan PP Aisyiyah telah mendapat edukasi mengenai asupan gizi anak.
Edukasi tersebut dilakukan di 13 kota dari 8 provinsi, yaitu Bandung, Banten, Lombok, Bekasi, Makassar, Lebak, Serpong, Cirebon, Bantar Gebang, Batam, Padang, Bali, dan Jambi.
“Kami di Muslimat NU sudah melakukan edukasi sampai grass root di 34 provinsi, 542 kabupaten kota, dengan 16.000 ranting. Biasanya seluruh pengurus itu hampir semua punya majelis taklim. Kami punya program dengan Kemkes dan YAICI, dan bahas berbagai masalah termasuk SKM," ujarnya.
Erna mengatakan, PP Muslimat NU juga bekerja sama lintas sektor untuk edukasi gizi. Selain posyandu yang diadakan para ibu PKK, Muslimat NU juga mengadakan kegiatan posbindu yang juga melayani di tingkat desa.