Termasuk, dampaknya pada ancaman penyakit, baik infeksi, apalagi degenerative, menular, juga tak terkecuali penyakit non menular.
Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis.
Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik.
Anak yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya sehingga menjadi pendek (stunted) salah satunya.
Kondisi ini lebih berisiko apabila masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan.
Kondisi ini tergambar dalam studi NutriPlanet yang diinisiasi oleh Danone SN Indonesia.
Data yang disajikan dari studi Nutriplanet menunjukkan bahwa permasalahan gizi ibu dan anak di Indonesia terjadi seperti dalam lingkaran yang terus berputar, mulai dari masa kehamilan, anak di bawah usia dua tahun, di bawah lima tahun, hingga kelak mereka dewasa dan bersiap menjadi orang tua.
Dalam data tersebut dapat dilihat dengan jelas jika prevalensi gizi buruk balita di Indonesia mencapai 30,8% untuk stunting dan 17,7% untuk kekurangan berat badan kurang (Riskesdas 2018).
Kondisi ini antara lain disebabkan oleh kondisi ibu hamil yang 55% mengalami kekurangan asupan energi (SKMI 2014), sepertiga dari mereka menghadapi anemia (Riskesdas 2013).
Sementara itu, di usia sekolah 80,9% anak-anak di usia sekolah (4-12 tahun di Jakarta) mengalami kekurangan asupan EPA + DHA (Neufingerl et al, 2016).
Secara umum penduduk Indonesia, termasuk> 95% orang dewasa memiliki asupan buah & sayuran yang tidak kurang memadai. Fakta lainnya adalah, 1 dari 6 orang dewasa di Indonesia menderita anemia.
Vice President General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto menyatakan pihaknya percaya pada kekuatan nutrisi, untuk membuat perbedaan yang positif dan terbukti bagi kesehatan.
"Melalui studi ini kami berupaya memahami kondisi lokal status gizi ibu dan anak."
"Telah ada banyak penelitian dilakukan di bidang nutrisi ibu dan anak selama ini, namun masih sering terpisah-pisah."