Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meskipun demensia sebagian besar dialami oleh lansia, kondisi ini bukanlah hal yang normal.
Demensia adalah sindrom gangguan penurunan fungsi otak yang mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan perilaku aktivitas sehari-hari.
Demensia Alzheimer, orang awan sering menyebutnya dengan pikun merupakan penyebab utama ketidakmampuan dan ketergantungan lansia terhadap orang lain.
Penyakit ini memberikan dampak fisik, psikososial, sosial, dan beban ekonomi tidak hanya bagi penderita tapi juga bagi keluarga dan lingkungan sekitar.
Baca: Jakarta Catatkan 1.076 Kasus Baru Covid-19 dalam 24 Jam, Total Kasus 56.175
Saat ini, di dunia, lebih dari 50 juta orang mengalami demensia dan Demensia Alzheimer adalah jenis demensia yang terbanyak, sekitar 60-70%.
"Pikun seringkali dianggap biasa dialami oleh lansia sehingga Demensia Alzheimer seringkali tidak terdeteksi, padahal gejalanya dapat dialami sejak usia muda (early on-set demensia)," kata Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) PERDOSSI, DR. dr. Dodik Tugasworo P, SpS(K) dalam konferensi pers daring, Senin (14/9/2020).
Dalam konferensi pers ini, juga diumumkankan kampanye edukatif, #ObatiPikun dan mengenalkan metode deteksi dini Demensia Alzheimer melalui EMS (E-memory screening) dalam rangkaianAlzheimer Awareness Month yang diadakah Eisai Indonesia dan PERDOSSI.
Baca: Negara Harus Hadir dalam Penanganan Penyakit Demensia Alzheimer
Baca: Konsumsi Makanan dan Minuman Berikut Secara Rutin untuk Mencegah Pikun di Usia Muda
Dikatakannya, deteksi dini membantu penderita dan keluarganya untuk dapat menghadapi dampak penurunan fungsi kognitif dan pengaruh psiko-sosial dari penyakit ini dengan lebih baik.
Selain itu penanganan Alzheimer sejak dini juga penting untuk mengurangi percepatan kepikunan.
Bukannya menurun, kata Dodik tren penderita Demensia Alzheimer di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.
Diperkirakan saat ini jumlah penderita Penyakit Alzhemeir di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta orang dan diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada tahun 2030 dan menjadi empat juta orang pada tahun 2050.
Lantas apa yang memicu kenaikan? "Kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang Demensia Alzheimer mengakibatkan stigmatisasi dan hambatan dalam diagnosis dan perawatan," katanya.
Sementara itu, Ketua Studi Neurobehavior PERDOSSI, dr. Astuti, Sp.S(K), mengatakan penyakit Demensia Alzheimer memiliki faktor risiko yang bisa dimodifikasi seperti penyakit vaskular hipertensi, metabolik: Diabetes, dislipidemia; pasca cidera kepala, pendidikan rendah, depresi dan yang tidak bisa dimodifikasi yaitu usia lanjut, genetik yaitu memiliki keluarga yang mengalami Demensia Alzheimer.