Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyangsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di awal pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia membuat banyak pasien yang menunda ke rumah sakit. Alasan utamanya takut tertular infeksi Covid-19. Karena rumah sakit tempat berobat, termasuk pasien Covid-19.
Berlarut-larutnya pandemi hingga hampir sembilan bulan membuat rumah sakit dan berbagai pihak berbenah untuk membuat keamanan pasien non Covid-19.
Pasalnya, penyakit non Covid-19 juga perlu penanganan. Bila pasien takut berobat dikhawatirkan penyakit lain kasusnya akan 'meledak'. Diantaranya kanker pada anak.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, dari 83 pasien Covid-19 pada anak, 10 di antaranya adalah penderita kanker.
Pandemi menyebabkan banyak perubahan pada layanan kanker anak di pusat-pusat kanker anak di seluruh Indonesia. Mengingat ini adalah virus baru, dampaknya pada anak dengan kanker juga belum sepenuhnya dipahami oleh tenaga medis.
Baca juga: Amankah ke Rumah Sakit Saat Pandemi Covid-19? Lebih Baik Lakukan Telemedicine, Kecuali Darurat
Prof. dr. Djajadiman Gatot SpA(K) dari FKUI/RSCM, menjelaskan, semakin dini ditemukan maka hasil akhir pengobatan kanker pada anak juga akan memuaskan. Terapi bisa diberikan sedini mungkin sehingga angka kesembuhan meningkat.
Terapi kanker yang bersifat sistemik seperti kemoterapi, akan mengakibatkan efek samping pada organ tubuh maupun gangguan imunitas tubuh (immunocompromise).
Baca juga: Halodoc, Gojek dan Kemenkes Siapkan Layanan Telemedicine Check Covid-19
“Sebelum diobati pun kanker sudah menganggu sistem imun, apalagi kalau sudah diberikan kemoterapi. Anak dengan kanker akan semakin rentan mengalami infeksi virus, bakteri atau jamur, termasuk virus Covid-19,” jelas Prof. Gatot di acara webinar ilmiah “Paradigma Baru Penanganan Kanker pada Anak di era Pandemi” yang diselenggarakan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) dan UKK Hematologi Onkologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, pada Sabtu (7/11/2020).
Selain menempatkan anak pada risiko tinggi tertular Covid-19, selama pandemi juga banyak ditemui kendala dalam perawatan kanker pada anak. Kendala pelayanan yang dimaksud antara lain keterbatasan stok obat kemoterapi dan jumlah donor darah menurun.
Dr. Nadirah Rasyid Ridha, SoA(K) dari Divisi Hematologi Onkologi Anak Universitas Hasanudin/RSUP dr Wahidin Sudirohusodo, Makasar, mengatakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
“Banyak pasien yang drop out pengobatan selama kemoterapi, akibat tidak tersedia ruang isolasi. Ruangan isolasi di rumah sakit dan jumlah tenaga medis banyak yang diperbantukan untuk melayani pasien Covid-19,” jelasnya.
Beberapa pasien kanker anak yang hasil tes PCR-nya terbukti positif, lanjut dr. Ridha, harus menjalani isolasi mandiri sampai dinyatakan negatif Covid-19. Pasien yang tidak terinfeksi Covid-19 pun juga harus menunda kemoterapi intensif agar daya tahan tubuh tidak semakin turun.
“Dampak penundaan kemoterapi adalah tidak tercapai remisi dan kemungkinan relaps tinggi, bahkan menyebabkan kematian,” ujar dr Ridha.
Solusinya, lanjut dr. Ridha, adalah mengetatkan protokol pencegahan Covid-19 pada pasien kanker dan meningkatkan layanan telemedicine.
Telemedicine # Konsultasi Online
Dr. Endang Windiastuti SpA(K) dari Divisi Hematologi-Onkologi Anak FKUI/RSCM menjelaskan, sesuai kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang dimaksud dengan layanan telemedicine adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis di mana jarak menjadi masalah, sehingga informasi diberikan menggunakan teknologi informasi.
Dr Endang mengatakan, Pemerintah sudah mengatur layanan telemedicine ini, tetapi terbatas pada pelayanan antara fasilitas kesehatan yang satu dengan fasilitas kesehatan yang lain.
April 2020, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengeluarkan peraturan mengenai kewenangan klinis praktek kedokteran selama pandemi. Salah satunya mengatur tentang telemedicine.
Dokter bisa menegakkan diagnosis melalui layanan telemedicine baik dalam bentuk tulisan, suara maupun video dengan tetap menjaga kerahasiaan pasien.
“Dalam peraturan KKI dikatakan bahwa dokter yang menggunakan teknologi ini harus punya Surat Tanda Registrasi (STR), dan tetap memerhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien."
"Untuk kasus emergensi tidak boleh menggunakan telemedicine karena berisiko menimbulkan kesalahan,” jelas dr. Endang.
Kasus emergensi diantaranya kejang, sesak nafas, dan tidak sadarkan diri. Bila pasien dalam kondisi emergensi harus segera dibawa ke rumah sakit.
Dr. Endang menegaskan, dokter dilarang melakukan telekonsultasi dengan pasien secara langsung tanpa melalui fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan).
Artinya, telemedicine ini dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang resmi, baik puskesmas maupun rumah sakit. Tujuannya adalah untuk menjamin keselamatan pasien.
“Dengan adaanya PSBB, layanan kanker anak berubah hampir di semua pusat pelayanan kanker anak di Indonesia. Jadwal radioterapi dan bedah juga berubah dan banyak pembatalan pasien. Maka telemedicine memang menjadi solusi selama pandemi,” jelasnya.
Menurut dr. Endang, meskipun ada kelemahan dalam akurasi diagnosis melalui anamnesis, namun telemedicine bisa mengurangi kunjungan yang tidak perlu ke rumah sakit sehingga bisa menekan penyebaan virus corona. Dokter pun akan terlindungi dari penularan.
Pandemi Covid-19 yang belum pasti akan berakhir, membuat banyak kebiasaan baru yang harus dilakukan. Termasuk penanganan pasien kanker anak.
"Tujuan YOAI mengadakan Webinar ilmiah ini adalah sebagai sumbangsih YOAI untuk penanggulangan penyakit kanker pada anak di Indonesia di masa pandemi Covid-19 dengan cara meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dokter spesialis anak mengenai pelayanan onkologi anak di Era Adaptasi Kebiasaan Baru,” jelas Ketua YOAI Rahmi Adi Putra Tahir.