Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keraguan masyarakat terkait vaksin akhir-akhir ini meningkat, lantaran pengetahuan tentang seluk beluk vaksin memang bukan konsumsi orang awam.
Ahli Virologi Universitas Udayana, Prof. Ngurah Mahardika menjelaskan, teknologi, sumber daya, dan infrastrukturnya dalam penciptaan vaksin hanya diketahui segelintir orang yakni peneliti dan produsen vaksin itu sendiri, maupun komunitas ilmuan.
Hal itulah juga menimbulkan kekhawatiran masyarakat, apakah bisa vaksin dalam waktu singkat dibuat.
“Zaman dahulu tentu harus dapat agennya dulu yang murni. Setelah itu diperbanyak, dan kemudian baru disiapkan sebagai vaksin. Itu yang menempuh waktu yang lama. Zaman sekarang, teknologi telah memungkinkan kita melakukannya dengan cepat. Tidak perlu lagi agen penyakit dan bisa dibuat sintetis, jadi bisa sangat cepat. Zaman dahulu perlu waktu lama untuk menemukan bibitnya saja. Zaman sekarang hanya perlu waktu satu dua bulan saja untuk menemukan bibitnya,” jelas Prof. Ngurah Mahardika beberapa waktu lalu.
Ia memaparkan, sedikitnya ada empat ragam vaksin yang dibedakan berdasarkan bahan dasarnya.
Baca juga: Vaksinolog Jelaskan Rumitnya Proses Pembuatan Vaksin, Keamanan Nomor 1, Kedua Efektivitas
Baca juga: Soal Kekhawatiran Publik Terhadap Keamanan Vaksin, Epidemiolog: Pemerintah Sudah Punya Pengalaman
Pertama yang berbasis virus murni yang dimatikan sehingga tidak berbahaya bagi manusia, ada pula yang berbasis DNA atau mRNA, ketiga ada vaksin berbasis adenovirus, dan terakhir adalah vaksin berbasis protein.
“Ragam basis vaksin ini punya kelebihan dan kekurangan tentunya, seperti vaksin berbasis virus yang dimatikan yang saat ini diujicobakan di Indonesia adalah jenis paling lazim, sehingga regulasi penggunaanya jauh lebih ringkas," jelas dia.
Sementara untuk vaksin berbasis DNA dan adenovirus memang belum ada contohnya yang beredar di masyarakat sehingga regulasinya memakan waktu lama.
Meski teknologi mengakselerasi penemuan vaksin baru, ia memastikan faktor kunci yang tidak boleh dikesampingkan dalam prosedur adalah, memastikan tingkat keamanannya.
Peneliti dan pengembang vaksin tidak mengkompromikan aspek kualitas, daya guna, dan keamanannya, termasuk keamanan vaksin Covid-19 yang nanti hendak ditemukan, harus terjamin.
“Untuk aspek keamanan ini dimulai sejak fase pre klinis, yang diujikan pada hewan, lalu Fase I yang melibatkan relawan manusia, Fase II yang melibatkan ratusan relawan, dan Fase III yang melibatkan ribuan relawan. Pada semua fase, aspek keamanan dan daya guna menjadi perhatian serius. Lebih-lebih pada Fase III, ketika melibatkan ribuan hingga puluhan ribu orang,” ungkap dia.
Prof Ngurah juga menerangkan, tak sampai di situ saja, setelah beredar di masyarakat vaksin terus dimonitor dan diaudit dalam rangka memastikan keamanan vaksin.
Menurutnya dia Indonesia sangat memungkinkan untuk mengembangkan vaksin Covid-19 secara mandiri.
Namun diperlukan kerjasama dalam masa pandemi Covid-19. Kerjasama bertujuan untuk mendapatkan data berkualitas tinggi. Peneliti dan ilmuan di Indonesia juga membuka data-data kajian dalam negeri untuk memberi sumbangsih kepada keilmuan dunia dan menerima input positif dari peneliti luar negeri.
“Tanpa kerja sama saya kira kita mampu, tapi untuk mencapai kemajuan yang pesat dirasa perlu dengan jalan kerjasama antar Negara dan keilmuan dunia,” tutup Prof. Ngurah Mahardika.
Perlu diingat, memakai masker, menjaga jarak minimal 1 meter, dan mencuci tangan dengan sabun, tetap merupakan cara pencegahan yang terbaik hingga saat ini.