Faktor Risiko
Tindakan pencegahan juga perlu dilakukan. Orangtua juga harus mewaspadai faktor risiko kekerasan seksual pada anak.
Faktor risiko itu bisa berada di anak itu sendiri, orangtua dan lingkungan.
Dokter Hari menyebut adanya cacat fisik, retardasi mental, dan gangguan perilaku pada anak, menambah risiko terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Pada orangtua sendiri juga perlu mewaspadai ketika adanya depresi, pernikahan dini, perceraian, dan trauma masa lalu. Sedangkan lingkungan juga mempengaruhi risiko kekerasan seksual pad anak ketika di sekitar ada banyak pengangguran, unwonted child, adat, serta pengaruh media massa.
“Ada beberapa adat yang memperbolehkan pernikahan anak-anak, padahal anak belum menginginkannya," jelas Hari.
Pelaku Kekerasan
Secara umum, dari hasil survey nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2018 (SNPHAR 2018), menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki, dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. 1 dari 2 anak laki-laki dab 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik. Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Hasil SNPHAR 2018 itu juga menunjukan anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Bahkan pelaku kekerasan baik kontak maupun non kontak paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47 persen – 73 persen), atau sekitar 12 persen – 29 persen pacar menjadi pelaku kekerasan seksual. d
Dokter spesialis anak, Dr Ariani, Sp.A(K), M.Kes mengatakan, dampak kekerasan yang dialami anak bisa berdampak langsung dan tidak langsung.
Dampak langsung bisa menyebabkan mortalitas (kematian) dan morbiditas (kecacatan) serius bisa kerusakan saraf, patah tulang, infeksi, luka dan lainnya.
Adanya gangguan emosi seperti kurang konsentrasi, enuresis (ngompol), enkopresis (keluarnya feses secara tidak sengaja) (gangguan makan), anoreksia, hilang percaya diri, perubahan tingkah laku, mencoba bunuh diri, phobia, cemas, dan agresif.
Sedangkan gangguan tidak langsung kepada kesehatan mental, diantaranya berisko kebiasaan seksual berisiko, obesitas, melakukan tindak kriminal, gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder (PTSD), sindrom nyeri berkepanjangan, kelelahan yang berkepanjangan (chronic fatigue syndrome), sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome).
“Dampak para korban bisa berlanjut menjadi pelaku. Risikonya bisa 7 kali lipat pada saat dewasa menjadi pelaku kekerasan seksual daripada yang saat anak-anaknya tidak punya pengalaman kekerasan seksual,” kata dokter Ariani.