TRIBUNNEWS.COM - Seseorang dinyatakan obesitas ketika mengalami kelebihan berat badan atau lemak tubuh yang dapat memengaruhi kesehatannya.
Dokter biasanya mendiagnosis seseorang mengalami obesitas jika memiliki indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index (BMI) yang tinggi.
IMT adalah indikator umum yang kerap digunakan dokter atau ahli gizi untuk menilai apakah seseorang memiliki berat badan yang sesuai untuk usia, jenis kelamin, dan tinggi badannya.
Pengukuran ini menggabungkan tinggi dan berat badan.
Menurut Permenkes RI No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, angka BMI 25-27 menunjukkan bahwa seseorang mengalami kelebihan berat badan (overweight).
Sedangkan BMI lebih dari 27 menunjukkan bahwa seseorang mengalami obesitas.
Faktor lain, seperti rasio lingkar pinggang-lingkar pinggul (WHR), rasio lingkar pinggang-tinggi badan (WtHR), dan jumlah serta distribusi lemak pada tubuh juga berperan dalam menentukan seberapa sehat berat badan seseorang dan bentuk tubuh sedang.
Baca juga: Dua Penyebab Utama Diabetes : Obesitas dan Kurang Aktivitas Fisik
Baca juga: Pasien Diabetes Butuh Prosedur Terapi Insulin yang Lebih Sederhana
Jika seseorang mengalami obesitas dan kelebihan berat badan, ini dapat meningkatkan risiko terkena sejumlah kondisi kesehatan, termasuk sindrom metabolik, artritis, dan beberapa jenis kanker.
Dalam rangka peringatan Hari Obesitas Sedunia, Nutrifood bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Badan Pengawas obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengedukasi masyarakat Indonesia melalui workshop ‘Cerdas Baca Label Kemasan, Hindari Risiko Obesitas’.
Workshop tersebut merupakan bagian dari kampanye Cermati Konsumsi Gula Garam Lemak dan Baca Label Kemasan.
Baca juga: Penyandang Diabetes Perlu Dapatkan Vaksinasi Covid-19, Ini Alasannya
Baca juga: Alpukat hingga Rebusan Air Ketumbar Jadi Obat Diabetes, Mitos atau Fakta?
Baca juga: Bagaimana Mencegah Kebutaan Pada Penderita Diabetes Mellitus?
Edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman akan informasi nilai gizi khususnya kandungan gula, garam dan lemak pada kemasan makanan dan minuman agar terhindar dari dampak pandemi yang mengarah ke gaya hidup sedentari.
Gaya hidup sendatari atau gaya hidup tanpa melibatkan banyak aktivitas fisik itu dinilai menyebabkan kelebihan berat badan, sehingga berpotensi obesitas yang berisiko prediabetes dan diabetes.
“Sejalan dengan misi kami ‘Inspiring a Nutritious Life’ Nutrifood secara kontinu berupaya mengedukasi dan menginspirasi masyarakat untuk selalu mengimplementasikan gaya hidup sehat setiap saat, termasuk di masa pandemi dengan berkolaborasi dengan banyak pihak, melalui program edukasi Cermati Konsumsi Gula Garam Lemak dan Baca Label Kemasan yang telah diselenggarakan secara konsisten sejak tahun 2013," ujar Head of Marketing Nutrifood, Susana, S.T.P.
Baca juga: Jangan Sampai Obesitas! Ikuti Cara Ini Agar Kenaikan Berat Badan Saat Hamil Tetap di Garis Aman
"Membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak sesuai anjuran Kementerian Kesehatan RI berperan penting sebagai pencegahan risiko prediabetes dan diabetes terutama bagi orang dengan obesitas. Selain itu, perlu didukung juga dengan menjaga pola makan sehat, rutin berolahraga, istirahat yang cukup dan deteksi dini,” lanjutnya.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, DR. Dhian Dipo, MA, memaparkan, saat ini Indonesia mengalami beban ganda mengenai masalah gizi.
Menurut Riskesdas 2018, kekurangan gizi makro seperti stunting (pendek) dan wasting (kurus) pada anak balita masih tinggi yaitu masing-masing sebesar 30,8 persen dan 10,2 persen.
Selain itu, kekurangan zat gizi mikro seperti anemia juga masih tinggi. Data menunjukkan bahwa 1 dari 2 Ibu hamil mengalami anemia (48 persen).
Di sisi lain, Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan gizi lebih (obesitas) terutama pada usia dewasa, baik pada pria maupun wanita dengan prevalensi obesitas pada wanita lebih tinggi dari pria.
Data menunjukkan bahwa tingkat obesitas pada orang dewasa meningkat dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen dan prevalensi berat badan berlebih juga meningkat dari 11,5 persen di 2013 ke 13,6 persen di 2018.
Kondisi pandemi saat ini menghadirkan tantangan tersendiri karena adanya perubahan gaya hidup dan kondisi lingkungan.
Pembatasan aktivitas keluar rumah yang dibarengi dengan peningkatan waktu berada di depan gadget, menyebabkan penurunan aktivitas fisik dan peningkatan konsumsi makanan, terutama makanan siap saji dan pangan olahan yang dipesan secara online.
Kondisi ini dapat menjadi faktor risiko terjadinya obesitas, yang kedepannya dapat berdampak pada peningkatan penyakit tidak menular dan beban ekonomi negara.”
DR. Dhian Dipo, MA menambahkan, “masyarakat tetap dapat mengambil nilai positif dari kondisi saat ini dengan menjadikan pandemi sebagai titik awal untuk kembali pada pola kehidupan yang sehat dan konsumsi gizi seimbang untuk meningkatkan imunitas."
Gizi seimbang, lanjut dia, dapat diterapkan dalam isi piring untuk sekali makan yang dipenuhi dengan aneka ragam makanan dan bersumber pangan lokal yang memiliki kandungan fungsional bagi tubuh.
Cermat memilih makanan sehat dengan memperhatikan label makanan ketika membeli produk merupakan langkah awal bijak dalam pemenuhan gizi harian bersumber pangan olahan.
"Demi keberhasilan pelaksanaannya, diperlukan implementasi pencegahan berkesinambungan dan konsisten yang dilakukan bersama melalui pemberdayaan masyarakat dengan dukungan pihak-pihak terkait yang memiliki kepedulian terhadap gizi dan kesehatan dalam upaya penanggulangan masalah gizi,” ucap Dhian.
Koordinator Kelompok Standardisasi Pangan Olahan Keperluan Gizi Khusus, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Yusra Egayanti, S.Si, Apt, MP menjelaskan, “kelebihan berat badan dan obesitas dapat dicegah dengan pengaturan pola makan dengan prinsip gizi seimbang."
Satu di antaranya membatasi asupan gula garam lemak yang dikonsumsi.
Untuk mengetahui asupan gula, garam, dan lemak dari pangan olahan kemasan, masyarakat disarankan untuk lebih cermat dalam membaca label kemasan pangan olahan yang dikonsumsi.
"Masyarakat harus selalu memperhatikan empat informasi nilai gizi dalam label kemasan yaitu jumlah sajian per kemasan, energi total per sajian, zat gizi (lemak, lemak jenuh, protein, karbohidrat (termasuk gula)) dan persentase AKG (Angka Kecukupan Gizi) per sajian,” ucap Yusra.
Idealnya, lanjut Yusra, dalam sehari, masyarakat dapat mengonsumsi tidak lebih dari, gula sebanyak 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan, garam sebanyak 5 gram atau setara dengan 1 sendok teh, dan lemak total sebanyak 67 gram atau 5 sendok makan.
Jumlah sajian yang dikonsumsi memengaruhi jumlah kalori dan dan asupan zat gizi, misalkan sajian per kemasan adalah 15 maka jika kita konsumsi seluruh isi kemasan maka kita akan peroleh 1500 kkal.
Misalkan per sajian (27 gram) energi total adalah 150 kkal dengan 60 kkal dari lemak, maka energi per kemasan adalah 2250 kkal dan 900 kkal dari lemak, artinya dengan konsumsi 1 kemasan kita memenuhi 2250/2150 kkal kebutuhan kalori.
Selain itu tentunya harus memperhatikan asupan dari pangan lainnya baik yang diolah di rumah atau dari jajanan di restoran.
Zat gizi menunjukkan kandungan gula, garam, lemak, dan gizi mikro yang penting untuk kesehatan seperti vitamin, kalsium, zat besi, dan sebagainya.
Persentase AKG menunjukkan jumlah zat gizi per saji dibandingkan acuan label gizi dan dikalikan 100 persen.
Ketua PERSADIA Wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Prof. Dr. dr. Mardi Santoso, mengatakan, “orang yang kelebihan berat badan dan obesitas memiliki risiko prediabetes dan diabetes."
Penelitian di beberapa negara ada sekitar 47 persen sampai dengan 90 persen penderita diabetes melitus Tipe 2 (DMT2) adalah kelebihan berat badan atau obesitas.
Pertanda prediabetes secara laboratoris adalah kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl dan atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial 140-199 mg/dl.
Umumnya kelompok berisiko prediabetes adalah orang dengan obesitas/kegemukan, sering abortus, melahirkan bayi dengan berat badan 4 kg atau lebih, porsi makan besar tetapi kurang gerak, serta keluarga memiliki riwayat diabetes.
Dalam jangka waktu 3-5 tahun, 25% prediabetes dapat berkembang menjadi DMT2, 50% tetap dalam kondisi prediabetes, dan 25% kembali pada kondisi glukosa darah normal.
"Mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan membatasi asupan gula, garam, dan lemak, istirahat cukup, dan rutin aktivitas fisik 150 menit dalam seminggu dapat membantu mengurangi risiko prediabetes agar tidak berkembang menjadi DMT2,” tandasnya.