Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian orang mungkin pernah mengalami Infeksi Daerah Operasi (IDO) atau Surgical Site Infection (SSI) yang terjadi pada luka bekas sayatan operasi.
Kondisi ini dapat terjadi saat patogen berkembang biak pada area sayatan bedah, proses ini yang kemudian menimbulkan infeksi.
Di negara berkembang seperti Indonesia, IDO masih menjadi tantangan sekaligus masalah yang serius bagi dokter spesialis bedah.
Sebanyak 8 hingga 30 persen dari semua pasien yang menjalani prosedur bedah pun mengalami infeksi ini.
Baca juga: Langkah Dini Kenali Gejala Stroke dengan Metode FAST
Baca juga: 8 Tips Menurunkan Kadar Kolesterol Secara Alami agar Terhindar dari Penyakit Jantung
Inilah yang menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas setelah operasi.
Oleh karena itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) didukung oleh Essity Indonesia meluncurkan 'Clinical Practice Guideline (CPG) - Infeksi Daerah Operasi (IDO)' untuk menyamakan persepsi dan tata laksana bedah, sehingga dapat menurunkan insiden IDO di Indonesia.
Dokter Spesialis Bedah Saraf Konsultan & Ketua IKABI, Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS(K)., mengatakan salah satu fokus utama IKABI adalah penanganan Infeksi Daerah Operasi.
Ia pun berharap CPG - IDO ini dapat menjadi panduan para dokter spesialis bedah dalam meningkatkan mutu pelayanan bedah di Indonesia.
"Kami sangat gembira dapat meluncurkan Clinical Practice Guideline (CPG) Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebagai tata laksana bedah baik bagi dokter spesialis bedah juga dokter spesialis lainnya di seluruh Indonesia," kata Prof. Andi, dalam virtual media briefing 'Launching Clinical Practice Guideline (CPG) - Infeksi Daerah Operasi (IDO)', Kamis (28/10/2021).
Baca juga: 5 Orang yang Berisiko Terkena Penyakit Jantung, Salah Satunya Penderita Diabetes
Ia pun menyebut bahwa insiden IDO di Indonesia bervariasi, mulai dari 2 hingga 18 persen pada 2011.
Kemudian laporan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 2013 menyebutkan insiden IDO pada bedah abdomen sebesar 7,2 persen, lalu pada 2020 dilaporkan terjadi 3,4 persen.
Data pelaporan insiden IDO di Indonesia pun, kata dia, masih perlu ditingkatkan.
"IDO menyebabkan kematian 3 kali lipat lebih tinggi dan beban biaya yang lebih tinggi, karena durasi rawat inap yang signifikan dan diperlukannya intervensi medis tambahan seperti misalnya operasi ulang, akibat IDO," jelas Prof. Andi.
Untuk mencegah kerugian akibat IDO dan memperlambat laju resistensi antibiotik, tentunya diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Oleh karena itu, ia pun berharap adanya pendekatan holistik untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab profesi dokter, khususnya spesialis bedah demi mencegah terjadinya IDO.
"Di bawah naungan pemerintah terutama Kementerian Kesehatan, diharapkan adanya pendekatan holistik untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab profesi dokter terutama bagi dokter spesialis yang melakukan pembedahan tentang pencegahan IDO," pungkas Prof. Andi.