Laporan Wartawan Tribunews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K)., mengatakan antibiotik selama ini dapat diperoleh secara mudah tanpa harus menunjukkan resep dokter.
Sedangkan mindset mayoritas masyarakat menilai pengobatan mandiri dengan hanya sekadar membeli obat di apotek atau toko obat 'tanpa resep dokter' cenderung lebih mudah dan hemat biaya.
Hal ini yang berdampak pada semakin berkembangnya Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia.
Baca juga: Penggunaan Antibiotik Tanpa Petunjuk Dokter Bisa Picu Infeksi Tubuh Pasien Sulit Diobati
Baca juga: Pesan Dokter: Hati-hati Minum Antibiotik bagi Pasien Covid-19
AMR merujuk pada kondisi saat bakteri, virus, jamur maupun parasit mengalami perubahan, sehingga tidak merespons obat-obatan.
Saat terjadi AMR, infeksi yang ada dalam tubuh pasien akan semakin sulit untuk diobati, kondisi ini yang akhirnya dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit bahkan kematian.
AMR pun kini menjadi salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
"Di Indonesia, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit, mulai dari demam sampai nyeri sendi. Antibiotik dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia," ujar Prof. Tri, dalam webinar bertajuk '#TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia', Jumat (5/11/2021).
Ia kemudian menjelaskan bahwa hingga saat ini, masyarakat seringkali membeli obat di tempat yang cenderung mudah diakses, sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan.
Hal itu karena letaknya yang strategis, terpercaya, dan dapat diperoleh pada kondisi mendesak seperti saat malam hari, serta memberikan akses yang mudah pada obat-obatan esensial seperti antibiotik.
"Obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep, pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya," kata Prof. Tri.
Faktor 'lebih mudah dan hemat biaya' inilah yang akhirnya mendorong permintaan terhadap antibiotik kian melonjak.
"Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi," jelas Prof. Tri.
Sementara itu, kemudahan akses dalam memperoleh antibiotik ini ternyata dapat memicu seseorang mengalami AMR.