TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) menegaskan jika seluruh anak Indonesia baik balita maupun yang masih dalam kandungan harus terbebas dari Bisphenol A (BPA).
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan hal ini saat diskusi dalam rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dengan judul, Hak Hidup Anak, Bebaskan dari Bisphenol A yang Mengancam. Demi kepentingan Anak, Ayo Dukung Pelabelan BPA Sekarang Juga.
Dalam diskusi tersebut mendatangkan pemateri, Pakar Pendidikan Autis, Dr Imaculata Sumiyati dan dr Hartati B Bangsa, dari Ikatan Dokter Indonesia yang juga Wakil Ketua PDUI.
"Dalam rangka menegakkan hak anak atas kesehatan dan hak hidup. Bertepatan dengan Hari Hak Asasi manusia, kami mendukung BPOM selaku pemegang regulator untuk memberikan label peringatan BPA pada kemasan plastik dengan kode No.7 yang terbuat dari polycarbonat yang mengandung zat BPA yang berbahaya bagi usia rentan yaitu pada bayi, balita dan janin pada ibu hamil," kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.
Baca juga: RSUP H Adam Malik Putuskan Tidak Akan Operasi Bayi Kembar Siam di Medan, Ini Alasannya
Menurutnya, untuk keberlangsungan hak hidup anak, negara tidak boleh kalah dengan industri.
Justru negara wajib melindungi dan membebaskan anak apapun bentuknya, yang dapat mengancam kehidupan anak yang diakibatkan oleh zat BPA.
Komnas PA harus berjuang terus untuk mendapat hak hidup anak yang memadai.
"Mengingat BPA dapat mengancam Hak hidup anak maka Komnas perlindungan anak mendukung Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk melakukan Pelabelan free BPA yang jelas agar dapat diketahui masyarakat," sambut Arist Merdeka Sirait Auditorium Komnas Perlindungan Anak, Jalan TB Simatupang No. 33, Pasar Rebo Jakarta Timur.
Rancangan Perka BPOM untuk memberi label pada galon guna ulang yang terbuat dari bahan polycarbonat dan kemasan plastik lainnya dengan kode plastik No. 7 yang mengandung BPA, telah bergulir dan proses untuk pengesahan.
Jelas BPOM telah sejalan dengan semangat Hak Asasi Manusia. Terutama bagi anak - anak di mana hak hidup sehat harus mendapat perhatian khusus.
"Semoga pemerintah dalam hal ini BPOM, kuat dan tegas untuk berbuat yang terbaik guna melindungi hak kesehatan dan hidup bayi, balita dan janin pada ibu hamil. Kita harus bertanggung jawab pada generasi masa depan Bangsa Indonesia" tutur Arist Merdeka Sirait.
Sudah menjadi pengetahuan masyarakat dunia, bahwa zat kimia BPA pada kemasan plastik dengan kode No.7, secara akumulatif dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti, kanker, tumor, kelahiran bayi prematur, syaraf dan autis.
"Saya heran dan geram mendengar adanya penolakan atas Rancangan Perka BPOM Tentang Label Pangan Olahan ini. Telah kita ketahui bersama, bahwa dunia kesehatan beserta hasil risetnya telah menyatakan BPA berbahaya bagi usia rentan.
Peringatan BPA pada label kemasan pangan di negara-negara maju telah diterapkan, bahkan ada negara yang melarang sama sekali penggunaan kemasan yang mengandung BPA di negaranya. Jadi apabila ada yang menentang Perka BPOM ini, berarti menjahati hak asasi bayi, balita dan janin pada ibu hamil untuk mendapatkan hak perlindungan kesehatan dari negara" tegas Arist Merdeka Sirait.
Itu sebabnya dalam diskusi kali ini menghadirkan pakar pendidikan autis.
Agar mengetahui bahwa menangani anak yang autis lebih sulit jika dibandingkan dengan mencegahnya. Cara mencegahnya, salah satunya dengan memberi makan dan minuman yang tidak mengandung zat yang berbahaya bagi usia rentan.
"Saat membuat susu untuk bayi, misalnya, cenderung air nya hangat sampai panas. Nah inilah yang dapat mengakibatkan terjadinya peluruhan zat BPA pada kemasan plastik yang kemudian di minum oleh bayi. Secara akumulatif dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Bagi ibu hamil, jika pola makan tidak dijaga, tidak memilih kemasan plastik yang aman, sama saja meracuni embrio atau janin. inilah yang kemudian bisa berakibat anak cacat atau terkena auitis. Sekarang ini banyak anak autis.
Di sekolah milik saya, anak yang mau daftar sekitar 600, waiting list, sangat mengerikan, Itu faktanya. Sekarang ini yang di-blow-up anak autis yang keren, Itu hanya satu dua orang, yang lain kondisinya parah.
Satu aja yang pinter tapi di posting terus menerus. Kalau usia 14 tahun ke atas harus ditangani Rumah sakit Jiwa. Karena itu, wajib mutlak kemasan plastik yang mengandung zat BPA harus diberi label," tandas Dr Imaculata Sumiyati.
Pendapat Dr Imaculata Sumiyati bahwa zat BPA itu berbahaya diperkuat oleh pendapat dr Hartati B Bangsa, Wakil Ketua PDUI.
Sebelum menyampaikan materinya, dr Hartati B Bangsa, secara tegas mendukung perjuangan Komnas Perlindungan Anak agar kemasan plastik yang mengandung zat BPA dengan kode plastik No.7 diberi label peringatan.
Menurut dr Hartati B Bangsa, penelitian paling mutakhir pada tahun 2021 tentang zat BPA bahwa zat BPA ini memberikan dampak kepada Anak.
"Dalam kasus hari ini adalah perubahan perilaku atau kita menyebutnya Autisme. Tapi dalam perjalanannya proses penelitian ini akan terus berlanjut," tutur dr Hartati B Bangsa.
Menurut dr Hartati, ibu hamil itu kondisi paling rentan. Perjalanan zat BPA ke dalam tubuh itu sangat manis. Dia tidak terlihat gejalanya dan tidak ketahuan, serta prosesnya jangka panjang.
"Orang yang mempunyai anak autis, sesungguhnya tidak siap. Prosesnya panjang, dan sulit. Maka dari itu akan lebih baik jika dilakukan pencegahan. Salah satunya hindari zat BPA, " tandas Dr Hartati B Bangsa.
Solusi secara bijak harus menghindari kemasan plastik yang mengandung BPA dengan kode plastik No.7, untuk kemasan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh usia rentan, seperti bayi, balita dan janin pada ibu hamil.
Proses pencegahan inilah yang sedang dilakukan dengan mengadakan diskusi.
Intinya Negara harus melindungi kesehatan usia rentan dengan memberi label peringatan pada kemasan plastik yang mengandung BPA dengan kode No.7. Negara tidak bisa mengorbankan kesehatan usia rentan yaitu bayi, balita dan janin pada ibu hamil, sebagai generasi penerus bangsa Indonesia demi keinginan industri yang menolak penerapan label peringatan BPA ini.