Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingginya angka penderita kanker payudara di Indonesia menjadi salah satu faktor penting dalam mendorong masyarakat, khususnya kaum wanita untuk lebih peduli terhadap kesehatannya.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan Periksa Payudara Sendiri (SADARI) bagi tiap wanita agar bisa mendeteksi gejala timbulnya penyakit ini sejak dini.
Menurut riset Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2016, tingkat penetrasi SADARI mencapai 46,3 persen, sedangkan Pemeriksaan Payudara secara klinis (SADANIS) hanya mencapai 4,4 persen.
Baca juga: 5 Tips Merawat Payudara agar Sehat dan Tak Kendur, Konsumsi Hal Ini!
Baca juga: Desas-desus Putin Idap Kanker Tiroid, Wajah Bengkak hingga Mandi dengan Darah Tanduk Rusa
Sementara itu, dari data yang tercatat terkait 10 besar kasus baru di Rumah Sakit Kanker Dharmais periode 2020, menunjukkan kanker payudara sebagai penyakit dengan jumlah kasus paling tinggi yakni mencapai 1.137.
Sedangkan pada urutan kedua ditempati kanker serviks sebanyak 332 kasus, lalu kanker paru menempayi posisi ketiga dengan 249 kasus.
Melihat pentingnya melakukan deteksi dini terkait risiko kanker payudara ini, banyak pihak yang mulai concern menggaungkan kampanye, termasuk sektor swasta.
Seperti yang dilakukan startup blockchain bidang medis Decentralized Bio Network (DeBio Network) yang menjalin kerja sama dengan Sekolah Tinggi Teknologi dan Sains Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam memfasilitasi tes genetik untuk mendeteksi risiko kanker payudara 'cukup dari rumah saja', mengacu pada keberadaan gen BRCA.
Perlu diketahui, mutasi pada gen BRCA-1 dan BRCA-2 diduga berhubungan dengan risiko kanker payudara, rahim, prostat, pankreas dan melanoma.
Melihat kemungkinan munculnya sederet penyakit tersebut, saat ini telah dikembangkan screening yang dapat mendeteksi kondisi ini untuk mengetahui potensi terkena kanker sejak dini.
Selama ini mamografi memang masih diandalkan sebagai screening paling umum untuk mendapatkan citra kondisi payudara.
Namun dengan mendeteksi keberadaan gen penyebab kanker, maka potensi ini tentu dapat terdeteksi jauh lebih cepat.
Dr. rer. Nat. Marselina Irasonia Tan dari Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Hayati ITB menegaskan pentingnya mendeteksi mutasi gen BRCA 1 maupun 2.
"Mendeteksi mutasi BRCA 1 / 2 sangat penting, terutama dalam memberikan terapi terbaik untuk pasien. Mutasi BRCA 1 / 2 bisa diobservasi menggunakan DNA sel bebas, sebuah potensi komponen dari biopsi likuid," kata Dr. Marselina, dalam keterangan resmi, Kamis (7/4/2022).
Untuk itulah kerja sama antara DeBio Network dan SITH-ITB ini dilakukan, yakni demi menyediakan layanan tes genetika BRCA berbasis urine.
Tes ini hanya membutuhkan pengiriman 5 mL sampel urine dalam waktu maksimal 63 hari.
Selanjutnya tes akan berfokus kpada mutasi exon2 dari gen BRCA-1, sehingga bisa diketahui risiko munculnya kanker payudara atau rahim di masa depan.
Sementara itu seorang Ahli Biomolekul dan Genetika dari SITH ITB, Dr. Karlia Meitha menyatakan bahwa metoda tes yang baru ini memungkinkan pengambilan sampel secara non invasif.
"Tidak seperti metoda lain yang membutuhkan pengambilan darah," kata Dr. Karlina.
CEO DeBio Network, Pandu Sastrowardoyo mengatakan bahwa pihaknya sejak awal memang concern untuk menghadirkan inovasi layanan bidang kesehatan yang ditandai dengan inovasi untuk kesehatan kaum perempuan.
"Kanker payudara dan rahim hanya langkah awal kami dalam berinovasi dalam menyelamatkan perempuan di seluruh dunia," kata Pandu.
Nantinya, pihaknya juga berencana untuk menghadirkan inovasi layanan kesehatan untuk mendeteksi dini penyakit lainnya.
"Ke depan, akan ada ribuan penyakit dan kanker lainnya yang bisa dideteksi sejak dini dengan basis desentralisasi layanan kesehatan," jelas Pandu.
Deteksi dini merupakan faktor penting dalam menyelamatkan penderita kanker payudara.
Berdasarkan riset Alkabban dan Ferguson pada 2018, 93 persen pasien kanker payudara stadium 2 masih bisa diselamatkan jika terdeteksi dini selama 5 tahun pertama.