TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof dr Zubairi Djoerban merupakan tim penemu kasus pertama HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam wawancara dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Prof dr Zubairi Djoerban menceritakan awal mula kasus pertama HIV/AIDS ditemukan di Indonesia.
Dokter spesialis penyakit dalam dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) ini memulai kisahnya ketika mendapat tugas belajar ke Perancis pada 1982-1983.
“Belajar lebih jauh mengenai leukimia, untuk memeriksa leukemia yang ternyata yang macam-macam itu diperlukan tes antibodi monoklonal untuk antara lain untuk memeriksa CT form,” ujar Prof dr Zubairi Djoerban
Di tahun yang sama, Zubairi kembali ke Jakarta setelah melakukan tugasnya di Perancis.
Setelah menemukan kasus pertama HIV/AIDS di rumah sakit bagian selatan Perancis, Pakar kesehatan sekaligus dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi-onkologi (kanker) ini mencoba untuk mentracingnya di Jakarta.
Dari hasil tes waria di sekitaran Taman Lawang, ada beberapa yang hasil CT formnya rendah sekali.Meskipun CT formnya rendah, tapi menurut Zubairi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian Zubairi kembali bertanya pada lingkungan yang ada di sana dan ternyata sudah menjalar.
Selain itu, dokter Zubairi mengungkapkan penderita HIV/AIDS bisa sehat dan meminimalisir penularan, dengan syarat tidak putus obat.
Berikut kutipan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof dr Zubairi Djoerban:
Soal kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, dan Prof terlibat di dalam temuan itu, bisa diceritakan?
Pada tahun 1982-1983 saya mendapat tugas belajar ke Perancis belajar lebih jauh mengenai leukimia, untuk memeriksa leukemia yang ternyata yang macam-macam itu diperlukan tes antibodi monoklonal untuk antara lain untuk memeriksa CT form.
Kemudian di tahun 1983 itu saya pertama kali di rumah sakit di bagian selatan Perancis ada kasus pertama itu HIV/AIDS.
Waktu itu virusnya belum ketahuan, hanya keluhannya kekebalan turun lama-lama menurun dan meninggal. Kemudian kekebalannya drop hanya CT form 4,5.
Akhirnya balik tahun 1983 ke Jakarta, dan lapor ke kepala departemen. Kami coba test waria di Taman Lawang, ada beberapa waria yang CT form rendah sekali.
Meskipun CT formnya rendah tapi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian saya tanya pada lingkungan ternyata beberapa orang sudah meninggal. Kebetulan atau entah kenapa dari teman media dari majalah Tempo terbit di majalah Tempo kemudian dipublikasikan di Kongres penyakit dalam tahun 1984. Itu yang waria.
Jadi tahun 1984 baru ketemu mula-mula virusnya. Kemudiam Juli 1985, saya diundang ke pertemuan AIDS pertama dunia di Atlanta di situ kemudian ketahuan virusnya namanya HIV/AIDS.
Nah tes itu kemudian saya bawa ke Indonesia tahun 1986, ada kasus di Rumah Sakit Islam dan saya bekerja di sana. Seoramg perempuan dengan autoimun karena kondisinya lemah saya periksa ternyata positif.
Dan kemudian juga meninggal dan menjadi viral istilahnya. Itu kasus-kasus pertama.
Si X ini, yang terinfeksi HIV, kemudian meninggal, itu dia dapatnya dari mana?
Jadi penularannya bagaimana? Ternyata ada banyak penularannya. Awalnya kita kira hanya seksual saja.
Jadi riwayatnya waktu itu dari Amerika Los Angeles, San Francisco, New York, New Jersey yang di sebelah sana kebanyakan teman-teman muda di kalangan laki sama laki.
Kalau yang di New York dan New Jersey kebanyakan penggunaan narkotika. Jadi gampang ketahuan.
Dan kemudian ketahuan lagi ternyata bisa lewat laki ke perempuan.
Dan kemudian makin banyak ditemukan di Afrika dan di hampir semua benua akhirnya.
Dan ternyata penularan laki ke perempuan dan perempuan ke laki, jauh lebih banyak daripada penularan homoseksual dan dalam tanda kutip orang yang lain seksual, bisa hetero bisa mono, kemudian narkotik, dan ketiga lewat transfusi darah.
Jadi waktu itu pasien-pasien hemofilia mendapatkan faktor 8 ini intinya adalah donor dikumpulkan banyak kemudian diolah, ketika tercemar satu, maka semuanya kena, banyak di Indonesia, kasus yang saya tangani dengan hemofilia.Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 sudah diperbaiki, dan darah yang keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan.
Nah keempat, jadi kalau seorang ibu tertular HIV dan dia hamil, disitu risiko bayinya tertular itu antara 20-30 persen. Namun kemudian kalau ibu ini minum obat maka risiko penularan nol.
Sekarang di banyak negara bagian di Amerika tidak ada lagi bayi lahir dari ibu yang positif yang tertular karena si ibu minum obat.
Baca juga: Bantu Proses Persalinan Ibu Hamil Positif HIV, Bisakah Nakes Tertular? Begini Kata Prof Zubairi
Namun kenyataannya di Indonesia berbeda karena ibu ini ternyata tidak semua ibu hamil tes HIV itu yang terjadi di kita dan penularan di layanan kesehatan (jarum suntik).
Jadi misalnya menyuntik seseorang setelah suntik jangan ditutup lagi nah proses penutup ini kemudian bisa meleset. Jadi sekarang tidak boleh lagi, recapping, menutup kembali spet ke tutupnya. Itu yang kelima.
Dari kelima itu yang paling tinggi persentasenya yang mana (penularan)?
Yang paling tinggi dari laki ke perempuan, perempuan ke laki, heterogen. Penularan seksual.
Apakah fenomena LGBT di Indonesia yang semakin hari semakin marak justru bisa menjadi pengungkit atau pemicu infeksi HIV AIDS?
Iya kan dari awal memang mula-mula dulunya di sana. Saya kira edukasi yang berulang-ulang itu ternyata yang banyak orang merasa cukup, ternyata tidak cukup karena masih banyak yang tidak tahu mengenai penularan.(*)