Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak mentah dunia naik lebih dari 1,7 persen menyusul memanasnya kondisi politik di Suriah pasca tumbangnya rezim Bashar al-Assad.
Mengutip dari Reuters, selama 24 jam terakhir harga minyak jenis Brent naik 1,02 Dolar AS atau 1,4 persen menjadi 72,14 Dolar AS per barel.
Lonjakan serupa juga terjadi pada jenis minyak West Texas Intermediate AS yang melesat 1,17 Dolar AS atau 1,7 persen menjadi 68,37 Dolar AS.
Jorge Leon, kepala analisis geopolitik Rystad Energy mengatakan, peristiwa di Suriah selama beberapa hari terakhir telah menjadi pemicu lonjakan harga minyak mentah.
Meskipun bukan produsen minyak utama dunia, Suriah memiliki pengaruh geopolitik besar di wilayah Timur Tengah, ini karena Suriah memiliki kendali dalam hubungannya dengan Rusia dan Iran.
Konflik Suriah dikhawatirkan bakal mempengaruhi rute pasokan minyak utama di kawasan tersebut, seperti di Selat Hormuz, yang menjadi jalur vital pelayaran tanker minyak dari Arab Saudi, Irak, dan Iran.
Ketegangan ini lantas menambah tekanan bagi para investor, memperparah kerugian pasar minyak yang sebelumnya telah amblas secara teoritis dengan kemungkinan kerugian 1 mb/ day.
Selain karena konflik geoplotik di Suriah, sentimen negatif harga minyak mentah datang dari Saudi Aramco yang menurunkan harga jual Januari 2025 ke level terendah sejak 2021, penundaan kenaikan produksi OPEC+ hingga April 2025.
Baca juga: Semua Penerbangan di Damaskus Ditangguhkan Pasca Tumbangnya Rezim Bashar al-Assad
OPEC dan sekutunya memilih untuk menunda peningkatan pasokan untuk ketiga kalinya. Keputusan ini diambil buntut lambatnya permintaan global dan melonjaknya produksi minyak di luar kelompok OPEC.
Dalam situasi ini, OPEC merasa perlu untuk mempertahankan kestabilan harga dengan cara menunda rencana peningkatan produksi.
Baca juga: KBRI Damaskus Siapkan Opsi Evakuasi WNI Jika Kondisi Suriah Makin Kacau
Adapun daftar 13 negara anggota OPEC yangs epakat menunda produksi diantaranya termasuk Aljazair, Angola, Arab Saudi, Gabon, Guinea Khatulistiwa, Iran, Irak, Kongo, Kuwait, Libya, Nigeria, Uni Emirat Arab, dan Venezuela, secara kolektif mengambil keputusan untuk menjaga produksi tetap rendah demi stabilitas pasar.