Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan ada 23 persen bayi yang lahir di Indonesia dalam keadaan stunting.
Hal ini dipengaruhi oleh kondisi gizi ibu hamil sejak masa remaja, termasuk tingginya anemia pada ibu hamil dan remaja putri.
Baca juga: Tidak Hanya Ibu, Ayah Juga harus Terlibat dalam Program Edukasi Stunting
Setelah lahir angka stunting meningkat signifikan pada usia 6-23 bulan sebesar 1,8 kali.
Dikarenakan kurangnya asupan protein hewani serta pola pengasuhan makanan (parenting) yang tidak tepat.
Oleh karenanya pemerintah menargetkan penurunan angka stunting melalui gerakan ibu hamil sehat.
"Kita ingin memastikan bahwa angka 23 persen ini turun melalui gerakan bumil sehat. Kita saat ini fokus pada sebelum lahir sehingga awal kehidupan bisa diawali dengan baik untuk anak kita,'' ungkap Dirjen Kesehatan masyarakat dr. Maria Endang Sumiwi, MPH pada laman resmi Kemenkes dikutip Tribunnews, Rabu (14/12/2022).
Upaya ini termasuk dalam intervensi spesifik stunting sebelum kelahiran.
Baca juga: 70 Persen Kasus Stunting Disebabkan Faktor Sensitif, BKKBN dan TNI AD Latih Babinsa
Target penurunan stunting tahun 2024 adalah 14 persen dari 24,4 persen tahun 2021; atau sekitar 3,5 persen per tahun sesuai dengan target presiden Joko Widodo.
Pemerintah telah memetakan ada 12 provinsi prioritas penurunan stunting yang memiliki jumlah atau prevalensi tertinggi stunting.
Intervensi spesifik stunting perlu dilakukan sebelum dan setelah kelahiran.
Intervensi spesifik tersebut meliputi intervensi yang dilakukan sebelum lahir dan setelah lahir.
Upaya ini dilakukan pada remaja putri dan ibu hamil dan setelah lahir pada balita.
''Terutama yang kalau stunting kita sangat ingin mengejar pada 1000 HPK. Jadi kita pastikan sejak awal kehidupan semua faktor pertumbuhan terpenuhi,'' kata dr. Endang menambahkan.