TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan(Kemeneks) mendapatkan laporan kasus baru Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), setelah tidak adanya kasus baru sejak awal Desember tahun lalu.
“Penambahan kasus tercatat pada tahun ini, satu kasus konfirmasi GGAPA dan satu kasus suspek” ujar Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M Syahril pada keterangan resmi, Senin (6/2/2023).
Baca juga: Kasus Gangguan Ginjal Akut Muncul Lagi, Pakar: Sejak Awal Telah Penuhi Kriteria KLB
Dua kasus tersebut dilaporkan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Kemenkes meminta agar Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah lain untuk aktif memantau pasien dengan gejala GGAPA.
Dan, segera merujuk ke rumah sakit yang telah ditunjuk Kemenkes untuk menangani pasien tersebut.
Berikut fakta kasus GGAPA terbaru dirangkum Tribunnews.com.
Kasus Pertama, Pasien Demam, Beli Obat Bebas Secara Mandiri Tanpa Resep Dokter
Satu Kasus konfirmasi GGAPA merupakan anak berusia 1 tahun, mengalami demam pada 25 Januari 2023, dan diberikan obat sirup penurun demam yang dibeli bebas secara mandiri di apotek dengan merk Praxion.
Pada 28 Januari 2023 usai membeli obat tanpa resep dokter itu, pasien mengalami batuk, demam, pilek, dan tidak bisa buang air kecil (Anuria).
Baca juga: Kasus Baru Gagal Ginjal Akut, Anggota DPR Singgung Soal Fungsi Kontrol
Kemudian dibawa ke Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur untuk mendapatkan pemeriksaan, dan pada 31 Januari 2023 mendapatkan rujukan ke Rumah Sakit Adhyaksa.
Dikarenakan ada gejala GGAPA maka direncanakan untuk dirujuk ke RSCM, tetapi keluarga menolak dan pulang paksa.
Pada tanggal 1 Februari 2023, orang tua membawa pasien ke RS Polri Kramat Jati dan mendapatkan perawatan di ruang IGD, dan pasien sudah mulai buang air kecil.
Masih di hari yang sama, pasien kemudian dirujuk ke RSCM untuk mendapatkan perawatan intensif sekaligus terapi fomepizole.
"Namun 3 jam setelah di RSCM pada pukul 23.00 WIB pasien dinyatakan meninggal dunia," lanjut dr. Syahril.
Kasus Kedua, Beli Obat Secara Mandiri sebelum Diberi Obat Racikan dari Puskesmas
Sementara satu kasus lainnya masih merupakan suspek, anak berusia 7 tahun mengalami demam pada 26 Januari 2023, kemudian mengkonsumsi obat penurun panas sirup yang dibeli secara mandiri.
Kemudian pada 30 Januari 2023 mendapatkan pengobatan penurun demam tablet dari Puskesmas.
Baca juga: Ada 2 Kasus Baru Gangguan Ginjal Akut Pada Anak, Berawal Demam, Beli Obat Sirup Sendiri di Apotek
Lalu 1 Februari 2023, pasien berobat ke klinik dan diberikan obat racikan.
Keesokan harinya, di tanggal 2 Februari 2023 dirawat di RSUD Kembangan, kemudian dirujuk, dan saat ini masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta.
Pada saat ini sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait pasien ini.
“Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sampel obat dan darah pasien” jelas dr. Syahril.
Menkes Imbau Tak Beli Obat Sendiri Tanpa Resep Dokter
Dengan dilaporkannya tambahan kasus baru GGAPA, hingga 5 Februari 2023 tercatat 326 kasus GGAPA dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia.
Dari sejumlah tersebut 116 kasus dinyatakan sembuh, sementara enam kasus masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi mengimbau masyarakat untuk tidak membeli obat secara mandiri terlebih dahulu dari toko atau apotek.
"Paling baik konsultasi ke nakes (tenaga kesehatan). Jangan beli obat sendiri dulu," tegas dr. Nadia.
Kementerian Kesehatan juga kembali mengeluarkan surat kewaspadaan. Surat ini ditujukan kepada seluruh Dinas Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Organisasi Profesi Kesehatan terkait kewaspadaan tanda klinis GGAPA dan penggunaan Obat Sirup.
Penyebab kasus baru ini pun masih memerlukan investigasi lebih lanjut. Lebih lanjut, Syahril mengatakan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah mengeluarkan perintah penghentian sementara produksi dan distribusi obat yang dikonsumsi pasien hingga investigasi selesai dilaksanakan.
Terkait perintah penghentian sementara dari BPOM, industri farmasi pemegang izin edar obat tersebut telah melakukan voluntary recall (penarikan obat secara sukarela).
BPOM telah melakukan investigasi atas sampel produk obat dan bahan baku.
Baik dari sisa obat pasien, sampel dari peredaran dan tempat produksi, serta telah diuji di laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN). BPOM juga telah melakukan pemeriksaan ke sarana produksi terkait Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
"BPOM sudah mengeluarkan perintah penghentian sementara produksi dan distribusi obat yang dikonsumsi pasien hingga investigasi selesai dilaksanakan," ujar Syahril
DRP Anggap Keterlaluan Kasus Gangguan Ginjal Akut Bisa Muncul Lagi
Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo menyebut keterlaluan kasus gagal ginjal akut bisa muncul kembali.
Padahal sebelumnya Badan Pengawas Obat dan Makanan(BPOM) sudah mencabut izin edar obat-obatan mengandung bahan kimia berbahaya dan menyebabkan gagal ginjal akut.
BPOM juga sudah mengeluarkan beberapa daftar obat-obatan yang dianggap aman untuk dikonsumsi.
"Kalau kasus baru lagi ini sangat keterlaluan tetapi juga sangat keterlaluan jika ketika adanya obat yang sudah dinyatakan dilarang tapi masih beredar di masyarakat dan memunculkan kasus gagal ginjal akut lagi," ujar Rahmad.
Rahmad menyebut dengan kemunculan kasus gagal ginjal akut baru tersebut tentunya bakal meresahkan orang tua yang anaknya menjadi korban. Bahkan beberapa di antaranya hingga kini masih dirawat di rumah sakit.
"Nah ini pasti akan meresahkan dengan temuannya gagal ginjal baru ini di saat kasus kemarin sudah memunculkan kepiluan lalu masih ada orang tua yang anaknya jadi korban gagal ginjal akut yang sampai sekarang dirawat dan ini muncul kasus baru lagi," kata dia.
Politikus PDI Perjuangan ini juga menganggap kemunculan kasus gagal ginjal akut baru sangat menyedihkan. Ia pun menyentil lembaga-lembaga yang fungsinya melakukan kontrol dan pengawasan obat-obatan di pasaran.
"Betulkah itu kasus baru? betulkah ini karena keteledoran fungsi kontrol kita yang tidak utuh dan tidak keseluruhan?
Memang BPOM sudah mengambil langkah mencabut izin edar, kemudian ketika obat-obat itu dimusnahkan harus ada pejabat-pejabat BPOM masing masing wilayah, masing-masing kota untuk ikut mengawasi, ingin kita bertanya kalau toh pada akhirnya diakibatkan oleh obat penurun panas atau obat apapun jenis sirup yang dibeli dari izin edar yang sudah dicabut tapi tetap beredar di masyarakat tentu ini menjadi sesuatu yang salah dan harus ada yang bertanggung jawab soal ini," kata Rahmad.
Kendati demikian, Anggota DPR Dapil Jawa Tengah V ini enggan membuat kegaduhan. Rahmad menyerahkan sepenuhnya kepada BPOM dan Kementerian Kesehatan RI untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam.
"Kita beri kesempatan BPOM dan Kementerian Kesehatan melakukan investigasi secara menyeluruh penyebabnya dan apakah obat itu menjadi yang sudah terlarang atau ada kasus baru," ujar Rahmad.
Respon Bareskrim
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri menelusuri soal adanya temuan dua kasus gagal ginjal akut anak yang baru ditemukan di Jakarta. Pihak kepolisian akan menelusuri obat apa yang dikonsumsi hingga menyebabkan satu di antaranya meninggal dunia.
"Tim sedang turun untuk telusuri kembali, apa yang dikonsumsi pasien tersebut," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Brigjen Pipit Rismanto.
Pipit menjelaskan pihaknya meminta untuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menjelaskan terkait pengawasan obat-obat yang diduga mengakibatkan penyakit itu bisa kembali lolos beredar.
"Silakan ditanyakan kepada BPOM langsung ya. Saya rasa BPOM perlu menjelaskan ke publik terkait bagaimana pengawasannya sehingga kasus serupa bisa lolos," jelasnya.(Tribun Network/ais/abd/wly)